Simbah
KH. Dalhar, Watucongol Magelang
Mbah
Dalhar yang bernama lengkap KH. Nahrowi Dalhar, Watucongol dikenal sebagai
ulama yang mumpuni. Belum lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia.
Kiai kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai
salah satu wali Allah yang masyhur di tanah Jawa.
Mbah
Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal
sebagai seorang yang wara’ dan menjadi teladan masyarakat.
Kiai
Haji Dalhar , Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para ulama.
Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba
ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani
sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid
tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.
Nasabnya
Mbah
Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari
1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan
keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin
Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah
Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.
Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau
Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga
mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Masa Kanak-Kanak
Semasa
kanak – kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan
pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia
dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di
Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul
, ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian
tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur
15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi
Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini.
Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas
dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani.
Jalan Kaki dan Pemberian Nama Baru
Tidak
hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah berliau
berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci
untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta
oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk
menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau
yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani
Keduanya
berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung
Mas, Semarang. Adasebuah kisah menarik tentang
perjalanan keduanya. Selama perjalanan dari Kebumen da singgah di Muntilan ,
kemudian lanjut sampai di Semarang,
Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai
oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada sang guru.
Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda
bersama.
Di
Makkah (waktu itu masih bernama Hijaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman
tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah.
Sayid
Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para
ulama Hijaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari
serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat
belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar”
pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar.
Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang
diberikan untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu
lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai
“Dalhar”.
Ketika
berada di Hijaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah
As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat
dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu
menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah.
Sehingga
pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan
nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr
karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang
cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika
usianya belum menginjak dewasa.
Selama
di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu
goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa
dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air
zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan
riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya.
Dalam
hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil
ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat,
beliau lari keluar tanah Haram.
Selain
mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga
senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya ini,
mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad
Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3
orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis
sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal (meninggalkan
tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan
sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang
berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya – karyanya
Karya
mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib
Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini
masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang
sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah
menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul
tashrifan ala Jombang.
Banyak
sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada
beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH
Mahrus,Lirboyo ; KH
Dimyathi, Banten ; KH
Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang
lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 –
Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan
jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah
hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing.
indosiar.com, Magelang - (Kamis, 26.07.2012) Tidak ada batasan usia
untuk mencari ilmu. Ungkapan tersebut sangat tepat untuk menggambarkan suasana
pondok Sepuh Ramadhan, di Masjid Agung yang ada di Magelang, Jawa Tengah.
Sedikitnya tiga ratus santri yang berusia lanjut, tetap bersemangat menimba
ilmu agama.
Selama
bulan suci ramadhan, lebih dari 300 santriwan maupun santriwati yang rata-rata
berusia di atas enam puluh tahun, mengikuti berbagai kegiatan keagamaan Pondok
Pesantren Sepuh di Masjid Agung Payaman, Magelang.
Selain
shalat berjamaah dan mengikuti pengajian, para lansia ini juga belajar memahami
Islam lebih dalam. Tidak ada fasilitas khusus di pondok sepuh ini. Namun, para
lansia justru rela nyantri, jauh dari keluarga selama bulan suci ramadhan.
Misalnya Jazilah. Santriwati yang berasal dari Ambarawa Semarang ini justru
merasa senang bisa mengikuti pengajian di Ponpes Sepuh.
Pondok
Pesantren Sepuh ini didirikan oleh Kyai Muhammad Romo Agung atau dipanggil Mbah
Siraj, sekitar tahun 1937. Awalnya, ajang pengajian rutin. Lama kelamaan,
peserta bertambah banyak, dan umumnya orang lanjut usia. Di tempat ini para
santri tidak dipungut biaya, tetapi hanya diminta mengisi kotak infak yang
digunakan untuk membayar tagihan listrik dan kebersihan pondok pesantren.
Di
pondok Pesantren Sepuh Payaman ini, para lanjut usia harus mempersiapkan bekal
sahur hingga berbuka puasa. Bahkan tempat untuk tidur pun harus berbagi dengan
yang lain, di serambi masjid.
Kiai
Sirajd, ulama pencetus bambu runcing
Merdeka.com - Almarhum KH Anwari Sirajd dikenal dengan sosoknya yang
sederhana, bersahaja dan bijaksana. Penuh dengan kelembutan serta tutur katanya
yang halus merupakan ciri khususnya bila berhadapan dan memberikan wejangan
berupa ceramah dan nasihat kepada ribuan santrinya di Pondok Sepuh.
Ulama besar ini konon dikenal dengan kedigdayaan ilmu karomahnya setelah
menjalani pendidikan Islam di Kota Mekkah bersama Almarhum Mbah Dahlar yang
merupakan pendiri sekaligus pimpinan Ponpes Watu Congol, Gunungpring, Muntilan,
Magelang dan Almarhum KH Hasyim Ashari pimpinan Ponpes Tebu Ireng,
Jombang.
Usai berguru ilmu kitab tafsir dan hadis Al Bukhori sohih secara langsung
selama tujuh tahun, ketiga ulama besar itu langsung naik daun. Mereka langsung
dikenal sebagai kiai yang pamornya menggemparkan di seluruh Indonesia, terutama
dikalangan pejuang.
Almarhum Kiai Anwari Sirajd sendiri namanya harum saat era perjuangan melawan
kolonial Belanda. Kedigdayaan ilmu karomah yang dimilikinya dipercaya sebagai
senjata ampuh untuk melawan Belanda, selain itu juga dipercaya dapat mencegah
bencana letusan dan erupsi Gunung Merapi.
Saat itu ia diberikan gelar kehormatan Romo Agung oleh Belanda, karena berhasil
menghalau awan panas dan lahar erupsi Gunung Merapi yang mengancam wilayah Kota
Magelang yang pada zaman itu menjadi markas dan pusat Pemerintahan Gubernur
Belanda.
"Belanda berikan Gelar Romo Agung dulu saat Merapi meletus. Belanda ingin
halau lahar, minta doa ke Mbah Irsajd, doanya kabul tidak terjang Kota
Magelang. Sehingga kejadian itu dikaitkan dengan rutinitas pembacaan Kitab
Bukhori Sokhi yang dikenal dengan pengajian Sema'an Bukhoren membaca kitab
Bukhori yang setiap Ramadan satu bulan penuh digelar di Masjid Agung, alun-alun
Kota Magelang sampai sekarang," kata KH Mafatikhul Huda, salah seorang
cicit Almarhum KH Anwari Sirajd, kepada merdeka.com, Selasa (25/7).
Menurutnya, keampuhan ilmu karomah yang dimiliki Almarhum terbukti saat terjadi
agresi militer Belanda I. Saat itu Masjid Agung Payaman diserang Belanda pada
tahun 1948 dengan membabi buta. Belanda selalu mencari sosok KH Sirajd yang
dikenal sebagai pimpinan para santri pejuang.
Pencarian dilakukan mulai masjid sampai di beberapa kampung di Payaman,
Magelang. Namun, hanya pohon-pohon sekitar yang terbakar karena KH Sirajd dan
santri yang sempat bersembunyi di bawah masjid berhasil melarikan diri ke Desa
Canden yang jaraknya 10 kilometer dari Masjid Agung Payaman, Magelang.
Kemudian, sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949, para santri dibekali oleh bambu
runcing sebelum melakukan penyerangan ke Ambarawa. KH Subkhi pendiri Ponpes
Bambu Runcing, Parakan, Temanggung yang saat itu masih menjadi santri Mbah
Sirajd diperintahkan mencari bambu sebanyak-banyaknya dan diruncingkan untuk
menjadi senjata melawan Belanda dalam Serangan Umum 1 Maret.
"Saat itu Mbah Sirajd memberikan bambu-bambu itu dengan doa-doa dan
membawa kemenangan meski tentara Belanda memiliki senjata lengkap dan
otomatis," kata dia.
KH Subkhi kemudian memberi nama pondok pesantren yang didirikannya dengan nama
Ponpes Bambu Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah yang masih berdiri kokoh
dan eksis sampai sekarang. Kini, di Ambarawa berdiri kokoh sebuah monumen
sebagai simbol agresi militer dengan nama Museum Palagan Ambarawa, Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah.
Mbah Yai
Ihsan Jampes
Syaich Ihsan Jampes
Syaikh Ihsan
lahir pada 1901 M. dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH. Dahlan dan Ny.
Artimah. KH. Dahlan, ayah Syaikh Ihsan, adalah seorang kiai yang tersohor pada
masanya; dia pula yang merintis pendirian Pondok Pesantren Jampes pada tahun
1886 M.
Tidak banyak
yang dapat diuraikan tentang nasab Syaikh Ihsan dari jalur ibu. Yang dapat
diketahui hanyalah bahwa ibu Syaikh Ihsan adalah Ny. Artimah, putri dari KH.
Sholeh Banjarmelati-Kediri. Sementara itu, dari jalur ayah, Syaikh Ihsan adalah
putra KH. Dahlan putra KH. Saleh, seorang kiai yang berasal dari Bogor Jawa
Barat, yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung
jati (Syayrif Hidayatullah) Cirebon.
Terkait
dengan nasab, yang tidak dapat diabaikan adalah nenek Syaikh Ihsan (ibu KH.
Dahlan) yang bernama Ny. Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil
besar dalam membentuk karakter Syaikh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula
mengalir darah para kiai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir
putra K. Yahuda, seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika
urutan nasabnya diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri
Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu,
Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syaikh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur dari
Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya.
Berikut
bagan nasab Syaikh Ihsan Jampes
Ny. Isti’anah + KH. Saleh
Pertumbuhan dan Rihlah ‘Ilmiah
Syaikh Ihsan
kecil, atau sebut saja Bakri kecil, masih berusia 6 tahun ketika kedua orang
tuanya memutuskan untuk bercerai. Setelah perceraian itu, Bakri kecil tinggal
dilingkungan pesantren bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan diasuh oleh neneknya,
Ny. Isti’anah.
Semasa
kecil, Bakri telah memiliki kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki daya ingat
yang kuat. Ia juga tekun membaca buku, baik yang berupa kiatab-kitab agama
maupun bidang lain, termasuk majalah dan Koran. Selain itu, satu hal yang
nyeleneh adalah kesukaannya menonton wayang. Di mana pun pertunjukan wayang
digelar, Bakri kecil akan mendatanginya; tak peduli apakah seorang dalang sudah
mahir ataukah pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya yang kuat, ia menjadi
paham benar berbagai karakter dan cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur
dan berdebat dengan seorang dalang yang pertujukan wayangnya melenceng dari
pakem.
Kebiasan
Bakri kecil yang membuat risau seluruh keluarga adalah kesukaannya berjudi.
Meski judi yang dilakukan Bakri bukan sembarang judi, dalam arti Bakri berjudi
hanya untuk membuat kapok para penjudi dan Bandar judi, tetap saja keluarganya
merasa bahwa perbuatan Bakri tersebut telah mencoreng nama baik keluarga.
Adalah Ny. Isti’anah yang merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri,
suatu hari mengajaknya berziarah ke makam para leluhur, khususnya makam K.
Yahuda di Lorog Pacitan. Di makam K. Yahuda inilah Ny. Isti’anah mencurahkan
segala rasa khawatir dan prihatinnya atas kebandelan cucunya itu.
Konon,
beberapa hari setelah itu, Bakri kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda. Dalam
mimpinya, K. Yahuda meminta Bakri untuk menghentikan kebiasaan berjudi. Akan
tetapi, Karena Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap tegas. Ia mengambil
batu besar dan memukulnya ke kepala Bakri hingga hancur berantakan. Mimpi
inilah yang kemudian menyentak kesadaran Bakri; sejak saat itu ia lebih kerap
menyendiri, merenung makna keberadaannya di dunia fana.
Setelah itu,
untuk pertama kali dalam hidupnya, ia keluar dari pesantren ayahnya untuk
melalalng buana mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Beberapa
pesantren yang sempat disinggahi oleh Bakri diantaranya:
1. Pesantren
Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin (paman Bakri sendiri),
2. Pondok
Pesantren Jamseran Solo,
3. Pondok
Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
4. Pondok
Pesantren Mangkang Semarang,
5. Pondok
Pesantren Punduh Magelang
6. Pondok
Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
7. Pondok
Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
Yang unik
dari rihlah ‘ilmiah yang dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak pernah
menghabiskan banyak waktu di pesantren-pesantren tersebut. Misalnya, untuk
belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan
waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di
pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Peantren Jamseran ia hanya tinggal
selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan ‘memboyong’
ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.
Satu lagi
yang unik, di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu ‘menyamar’. Ia
tidak mau dikenal sebagai ‘gus’ (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui
identitas aslinya sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan,
setiap kali kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus
dari Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari
pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain.
Mengasuh
Pesantren dan Masyarakat
Pada 1926,
Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya diganti menjadi
Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan,
dipanggil oleh Allah SWT. Semenjak itu, kepemimpinan PP Jampes dipercayakan
kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi,
dia mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan suka
rela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat
itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
Ada banyak
perkembangan signifikan di Pesantren Jampes setelah Syaikh Ihsan diangkat
sebagai pengasuh. Secara kuantitas, misalnya, jumlah santri terus bertambah
dengan pesat dari tahun ke tahun (semula ± 150 santri menjadi ± 1000 santri)
sehingga PP Jampes harus diperluas hingga memerlukan 1,5 hektar tanah. Secara
kualitas, materi pelajaran juga semakin terkonsep dan terjadwal dengan
didirikannya Madrasah Mafatihul Huda pada 1942.
Sebagai
seorang kiai, Syaikh Ihsan mengerahkan seluruh perhatian, pikiran dan segenap
tenaganya untuk ‘diabdikan’ kepada santri dan pesantren. Hari-harinya hanya
dipenuhi aktivitas spiritual dan intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat
jama’ah, shalat malam, muthola’ah kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun
seluruh waktunya didesikannya untuk santri, ternyata Syaikh Ihsan tidak
melupakan masyarakat umum. Syaikh Ihsan dikenal memiliki lmu hikmah dan menguasai
ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar santri,
Syaikh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai daerah yang meminta
bantuannya.
Pada masa
revolusi fisik 1945, Syaikh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan
bangsa. PP Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan
republik yang hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta
doa restu Syaikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali
Syaikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis
depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk
yang mengungsi akan memilih pp jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syaikh
Ihsan membuka gerbang pesantrenya lebar-lebar.
Wafat dan
Warisan Syaikh Ihsan
Senin, 25
Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil oleh Allah SWT,
pada usia 51 tahun. Dia meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan
putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu
yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur
(kertas: karya-karyanya yang ‘abadi’) maupun dalam shudur (memori:
murid-muridnya).
Beberapa
murid Syaikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah
melalui pesantren adalah:
(1) Kiai
Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban;
(2) KH.
Zubaidi di Mantenan Blitar;
(3) KH.
Mustholih di Kesugihan Cilacap;
(4) KH.
Busyairi di Sampang Madura;
(5) K.
Hambili di Plumbon Cirebon;
(6) K.
Khazin di Tegal, dan lain-lain.
Sumbangan
Syaikh Ihsan yang sangat besar adalah karya-karya yang ditinggalkannya bagi
masyarakat muslim Indonesia, bahkan umat Islam seluruh dunia. Sudah banyak
pakar yang mengakui dan mengagumi kedalaman karya-karya Syaikh Ihsan, khususnya
masterpiecenya, siraj ath-Thalibin, terutama ketika kitab tersebut diterbitkan
oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab- al-Halab. Sayangnya, di
antara kitab-kitab karangan Syaikh Ihsan, baru siraj ath-Thalibinlah yang mudah
didapat. Itu pun baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat pesantren sebab belum
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Berikut daftar karya Syaikh Ihsan Jampes yang terlacak:
1. Tashrih
al-Ibarat (syarah dari kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang),
terbit pada 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas ilmu falak (astronomi).
2.
Siraj ath-Thalibin (syarah dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam
al-Ghazali), terbit pada 1932 setebal ± 800 halaman. Buku ini mengulas tasawuf
3. Manahij
al-Imdad (syarah dari kitab Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari),
terbit pada 1940 setebal ± 1088 halaman, mengulas tasawuf.
4. Irsyad
al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi puitik [plus
syarah] dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya
KH. Ahmad Dahlan Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman. Buku ini berbicara
tentang polemik hokum merokok dan minum kopi.
(Dihimpun
dari berbagai sumber, terutama dari buku “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi
al-Kediri” karya KH. Busyro A. Mughni [t.p., t.t.] dan buku “Jejak Sepiritual
Kiai Jampes” karya Murtadho Hadi [Pustaka Pesantren, 2007]) [dje]
MBAH
KYAI DALHAR WATUCONGOL
Kelahiran
& Nasabnya
Mbah
Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan,
Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari
1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi.
Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin
Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran
Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas
atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo
juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan,
Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang
mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru
diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa
tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah
seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu
senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan
kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf
tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam
gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang
dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer
Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh
karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu
perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad
dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan
waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan
serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian
tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu
membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren
Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun
letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh
Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai
Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja
letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu
Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.
Ta’lim
dan rihlahnya
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan
pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya
untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau
belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu
Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar
mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan
masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten
Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah
dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi
Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai
Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi
Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama
di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas
dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang
lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki –
laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi
ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang
perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai Dalhar pada
gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan
pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada
shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu
bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid
Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah
Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di
Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai
Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil
menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman
telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah
sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.
Sesampainya
di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid
Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman
dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama
Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari
serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat
belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar”
pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar.
Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang
diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu
lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Allahu Akbar.
Ketika
berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah
As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat
dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu
menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Riyadhah
dan amaliahnya
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga
pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan
nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr
karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup
‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya
belum menginjak dewasa.
Selama
di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu
goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa
dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air
zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan
riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri –
santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah
buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk
qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain
mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga
senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini,
mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad
Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3
orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis
sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal
(meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar.
Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat
kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Karamahnya
Sebagai
seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara
karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
Suaranya
apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter
walau tidak menggunakan pengeras suara
Mengetahui
makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau
masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat tinggal
Dll
Karya
– karyanya
Karya
mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib
Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini
masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang
sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah
menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan
ala Jombang.
Murid
– muridnya
Banyak
sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada
beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus,
Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.
Wafatnya
Sesudah
mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari
Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April
1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan
tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing.
Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai
Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
Demikianlah
manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua
pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun
nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri
bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.
Berikut
ini adalah ringkasan manaqib beliau yang penulis peroleh dari keterangan
keluarga. Terutama kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq dan beberapa petikan
catatan yang penulis peroleh dari catatan – catatan Mbah Kyai Dalhar.
Mbah
Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan,
Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari
1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi.
Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin
Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran
Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas
atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo
juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan,
Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang
mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru
diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa
tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah
seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu
senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan
kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf
tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam
gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang
dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer
Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh
karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu
perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad
dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan
waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan
serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian
tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu
membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren
Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun
letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh
Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai
Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja
letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu
Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.
Ta’lim dan rihlahnya
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan
pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya
untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau
belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu
Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar
mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan
masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten
Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah
dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi
Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai
Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi
Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama
di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas
dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang
lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera
laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah
menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai
Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan
pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada
shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu
bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid
Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah
Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di
Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai
Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil
menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman
telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah
sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.
Sesampainya
di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid
Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman
dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama
Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari
serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat
belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar”
pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar.
Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang
diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya
atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih
masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Allahu Akbar.
Ketika
berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah
As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat
dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu
menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Riyadhah dan amaliahnya
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga
pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan
nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr
karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang
cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika
usianya belum menginjak dewasa.
Selama
di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu
goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa
dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air
zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan
riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri –
santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah
buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil
hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain
mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga
senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini,
mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad
Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3
orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis
sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal
(meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar.
Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat
kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Karamahnya
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar
mempunyai banyak karamah. Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
* Suaranya apabila memberikan pengajian dapat
didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara
* Mengetahui makam – makam auliyaillah yang
sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau –
beliau tersebut pernah bertempat tinggal
* Dll
Karya – karyanya
Karya
mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib
Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini
masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang
sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah
menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul
tashrifan ala Jombang.
Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal
negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 –
1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki,
Giriloyo dll.
Wafatnya
Sesudah
mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari
Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April
1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan
tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing.
Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai
Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
Demikianlah
manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua
pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun
nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri
bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.
Mbah Dalhar
Watucongol
Beliau adalah salah satu Wali Allah daerah Jawa Tengah yang termasyhur pada
zamannya, juga salah satu tokoh Tarekat Syadziliyyah yang disegani. Mbah Dalhar
adalah salah satu guru utama dari Wali Allah yang “nyentrik,” Kyai Gus Miek
(HAMIM DJAZULI), Ploso Kediri.
Mbah Dalhar lahir di Watucongol, Muntilan, Magelang pada 12 Januari 1870 (10
Syawal 1286 H), dan diberi nama Nahrowi oleh ayahandanya, yakni Kyai
Abdurrahman ibn Abdurrauf ibn Hasan Tuqo (yang juga salah satu panglima perang
Pangeran Diponegoro). Ayahanda Mbah Dalhar ini tergolong berdarah biru, yakni
keturunan Sunan Amangkurat Mas. Kyai Hasan Tuqo juga memiliki julukan Raden
Bagus Kemuning.
Kyai Nahrowi sejak kecil sudah diajari ilmu agama oleh ayahnya. Pada usia 13
tahun beliau mondok selama 2 tahun di pesantren asuhan Kyai Mad Ushul, Dukuh
Mbawang, Salaman, Magelang. Kemudian beliau meneruskan belajar ke Syekh Sayyid
Ibrahim ibn Muhammad al-Jilani al-Hasani selama hampir delapan tahun. Bersama
putra gurunya, Sayyid Abdurrahman al-Hasani, beliau berangkat ke Mekah untuk
menuntut ilmu. Selama di Mekah beliau berguru kepada Syekh Sayyid Muhammad
Babashol al-Hasani di kawasan Misfalah. Sementara Sayyid Abdurrahman al-Hasani
hanya sempat belajar selama 3 bulan karena ikut berjuang, Kyai Nahrowi muda
beruntung bisa bertahan sampai 25 tahun. Sayyid Muhammad Babashol inilah yang
memberi nama “Dalhar” kepada Kyai Nahrowi. Di tempat ini pula Kyai Dalhar
memperoleh ijazah Thariqah Syadziliyyah dari Syekh Muhtarom al-Makki dan ijazah
Dalailil al-Khayrat dari Sayyid Muhammad Amin al-Madani.
Mbah Dalhar sejak muda sudah senang menjalankan riyadhah dan mujahadah.
Diriwayatkan beliau pernah berkhalwat selama 3 tahun di sebuah gua yang sempit,
berpuasa dan hanya berbuka dengan 3 butir kurma dan seteguk air zam-zam. Beliau
tidak pernah buang hajat besar dan kecil di kawasan tanah suci Mekah. Setiap
kali hendak buang hajat beliau selalu keluar dari kawasan itu. Beliau juga
terbiasa bangun malam dan melakukan banyak amalan. Selain mengamalkan zikir
jahr (dengan bersuara), beliau juga melakukan zikir sirri (diam). Bahkan jika
sudah tenggelam dalam zikir sirrinya, beliau bisa terus berzikir tanpa henti
selama 3 hari 3 malam.
Selain mengajar di pesantren, beliau juga sempat menulis kitab, namun yang
diketahui umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani, berbahasa Arab, berisi tentang
manaqib Syekh Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani. Beberapa muridnya menjadi kyai besar seperti Kyai Mahrus (Lirboyo),
Abuya Dimyati (Banten), Gus Miek (Ploso), Kyai Marzuki (Giriloyo) dan sebagainya.
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat
pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan
8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959.
Setelah beliau wafat, pesantrennya dikelola oleh putranya Kyai Ahmad Abdul Haq
(Mbah Mad).
Karamah
Sebagaimana lazimnya Wali Allah, beliau juga dikaruniai karamah oleh Allah.
Setiap memberi pengajian, suaranya bisa terdengar sampai sejauh 300 meter meski
tanpa pengeras suara. Beliau tahu mana makam Wali Allah yang tidak diketahui
oleh ulama lain. Beliau juga bersahabat dengan Nabi Khidir. Menurut satu
riwayat, beliau sering dikunjungi oleh Nabi Khidir di pesantrennya, Darussalam
Watucongol.
Sejarah
KH. Dalhar, Watucongol Magelang (Mbah Dalhar Watucongol)
Simbah KH. Dalhar, Watucongol Magelang
Mbah Dalhar yang bernama lengkap KH. Nahrowi Dalhar, Watucongol dikenal sebagai
ulama yang mumpuni. Belum lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia.
Kiai kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai
salah satu wali Allah yang masyhur di tanah Jawa.
Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan
dikenal sebagai seorang yang wara’ dan menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar, Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para
ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk
menimba ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang
disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu
mursyid tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang
mumpuni.
Nasabnya
Mbah Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12
Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam
lingkungan keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin
Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar
dikenal sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab
Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III.
Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain
dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Masa Kanak-Kanak
Semasa kanak–kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu
keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia
dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di
Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul
, ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen
pada umur 15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin
Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul
Kahfi Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren
ini. Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi
atas dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani.
Jalan Kaki dan Pemberian Nama
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah
beliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah
suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar
diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani
untuk menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani
Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib
beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani.
Keduanya berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas,Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya.
Selama perjalanan dari Kebumen dan singgah di Muntilan, kemudian lanjut sampai
di Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai
oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada sang guru.
Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda
bersama.
Di Makkah (waktu itu masih bernama Hijaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman
tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah.
Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya
dan para ulama Hijaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan
Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu
mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga
mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama
“Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi
Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama
yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu
lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Ketika berada di Hijaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan
Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad
Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini
dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah.
Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama
ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan
nabiyullah Khidhr as. Sampai–sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr
karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang
cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika
usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun
disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan
puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk
air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan
riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri –
santrinya.
Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air
kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat,
beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar
juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya
ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad
Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3
orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis
sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah
Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi
bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib
Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini
masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang
sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah
menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul
tashrifan ala Jombang.
Banyak sekali tokoh–tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada
beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus,Lirboyo
; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah
mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari
Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April
1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan
tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing.
MBAH DALHAR WATUCONGOL
Kiai Pedakwah dan Pejuang Kemerdekaan
Ia
memang masih keturunan dari laskar pejuang Pangeran Diponegoro di eks
Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah Dalhar juga mewarisi semangat
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan R.
Mbah
Kiai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan,
Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M). Ketika lahir ia
diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i
ilallahbernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.
Kiai
Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai
Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh
karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain
dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan,
Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena ia lebih senang mempelajari
ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui
jika ia hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat ia
tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang puteranya
bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu
agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk
bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk
membantu sang Pangeran.
Dalam
gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang
dari penjajahan secara habis–habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer
Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh
karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure–figure yang dapat membantu
perjuangannya melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di
masyarakat.
Menilik
dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka
diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga
wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh
Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah
pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kiai Abdurrauf.
Pesantren
Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdurrahman. Namun
letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh
Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kiai
Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja
letaknya juga digeser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu
Congol.
Nama “Dalhar”
Mbah
Kiai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan
pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya
untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak-kanaknya, ia belajar
Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kiai
Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok. Ia
dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya)
di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini
ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah
dari Salaman, saat ia berusia 15 tahun mbah Kiai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke
Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Oleh ayahnya, mbah Kiai Dalhar
diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani.
Delapan tahun mbah Kiai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di
pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar
permintaan ayahnya sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani.
Kurang
lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kiai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera
laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah
menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai
Dalhar pada gurunya.
Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan
pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada
shahabat karibnya yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu
bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid
Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah
Kiai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang.
Dikisahkan
selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai
di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kiai Dalhar kepada putera gurunya, beliau
memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid
Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kiai Dalhar
agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kiai
Dalhar.
Sesampainya
di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kiai Dalhar dan Sayid
Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As-Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam
rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani selama 3 bulan, karena ia diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz
untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan
sekutu. Sementara itu mbah Kiai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah
suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh
As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar”
pada mbah Kiai Dalhar. Hingga ahirnya ia memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana
nama Nahrowi adalah nama aslinya. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk
beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak
Allah Swt, mbah Kiai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya
dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kiai “Dalhar”.
Ketika
berada di Hejaz inilah Kiai Nahrowi Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan
Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad
Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini
dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan namanya di
tanah Jawa.
Hizb Bambu Runcing
Mbah
Kiai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Selama di
tanah suci, mbah Kiai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang
teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan
berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam
secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah
khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya.
Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kiai Dalhar tidak pernah buang air
kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat,
ia lari keluar tanah Haram.
Setelah
pulang dari tanah suci, sekitar tahun 1900 M ia kemudian meneruskan perdikan
peninggalan nenek moyangnya yang berupa pondok kecil di kaki bukit kecil Gunung
Pring, Watu Congol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Kurang lebih 3
kilometer sebelah timur Candi Borobudur. Pondok pesantren kecil ini lambat laun
tidak hanya dihuni oleh santri-santri sekitar eks Karsidenan Kedu saja namun
sampai pelosok tanah Jawa.
Bahkan
ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol
menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing
yang datang Jogjakarta dan wilayah Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan
Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat. Konon ceritanya, bambu runcing para
pejuang harus di asma hizb dahulu oleh KH Dalhar dan KH Subekhi
(Parak, Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa,
Semarang, (lihat buku: Jejak Kaki Persantren, karya KH Saifuddin Zuhri).
Dikisahkan,
dengan bermodalkan bambu runcing, para pejuang kemerdekaan menyerang benteng
Belanda di Ambarawa, bambu-bambu runcing mampu terbang dengan sendirinya bak
senapan menyerang tentara-tentara Belanda. Sementara bombardir peluru serta
granat tangan kumpeni Belanda tidak mampu melukai apalagi menyentuh kulit para
pejuang Republik Indonesia.
Karya
mbah Kiai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah KitabTanwirul Ma’ani.
Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abu Hasan
‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah
As-Syadziliyyah.
Banyak
sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepadanya
semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH
Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll. Sesudah mengalami sakit selama
kurang lebih 3 tahun, Mbah Kiai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan
1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M dan beliau
kemudian di makamkan di komplek makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan
Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sekalipun
jasadnya telah terkubur dalam tanah, karya dan penerus perjuangan Mbah Dalhar
tetap berkelanjutan sampai sekarang. Pondok Pesantren Darussalam, Watu Congol
adalah saksi sejarah napak tilas perjuangan dakwah Mbah Dalhar. Jalan menuju
makam Watucongol memang terbilang mudah. Peziarah ruhani biasanya melengkapi
ziarah Wali Songo atau wisata liburan dengan melewati jalur tengah yang
menghubungkan jalan utama dari Jogjakarta menuju Semarang. Ketika melewati kota
Muntilan, dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat
menunuju kawasan Gunung Pring.
Untuk
memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol
Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban tahun Hijriah biasanya haulnya diperingati
di kompleks Pesantren Darussalam Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring
Muntilan Magelang. Dipastikan kedua kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah
sepi oleh penziarah yang datang tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga
negeri mancanegara.
KH.HAMIM
DJAZULI (GUS MIEK KYAI NYELENEH)
KH
Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus
1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat
pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri),Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama
(NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah
kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar,
jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang
terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan
pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau
derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan.
Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial
(hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek
mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan
KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat
mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi
budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah
ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.Hal terpenting
lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam
praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat
oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh,
baik di dunia maupun akhirat.
ayah
gus mik KH.Achmad djazuli Usman
Gus
Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran
adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa
dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek
merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan ,beliaupun
membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.
gus
miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yangnyeleneh beliau lebih menyukai da’wah di kerumunan
orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam dibandingkan dengan
menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab
kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar
masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di
pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang
sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk
jalan terabas atau
dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.
Pernah
di ceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke discotiq dan disana bertemu dengan
Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri
mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek
salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.” Gus
kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras
yang diharamkan oleh Agama ? lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!!
aku hanya membuang minuman itu kelaut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya,
padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa
keanehan ,Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak
meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan
mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang
bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat
itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan
minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah
kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.
jika
sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans
dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran
lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya”
suram dan tak beruntung di akherat kelak.
Ketika
beliau berda’wak di semarang tepatnya di NIAC di pelabuhan tanjung mas.Niac
adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun
keturunan ,Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi
setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang
sangat besar. Niac pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang
sangat menakutkan
Satu
contoh lagi ketika Gus miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah
club malam Gus miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan
perempuan-perempuan nakal, lalu gus miek langsung menuju watries (pelayan
minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok
tepat di wajahnya, perempuan itupun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek
sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut
mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian
tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.
Pernah
suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek)
mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana
perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun
secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang
saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada”jawab Gus miek.
Pertanyaan
kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam
baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang
dijalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai
mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku
menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku
sedang menagis “jawab Gus miek
Adanya
sistem Da’wak yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu saja karena
resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid
(pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh
Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.
Tepat
tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah
sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik
akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu
dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.
KH
ACHMAD SHIDDIQ
A.KEHIDUPAN KH ACHMAD SHIDDIQ
KH.
Achmad Shiddiq yang nama kecilnya Achmad Muhammad Hasan, lahir di Jember pada
hari Ahad Legi 10 Rajab 1344 (tanggal 24 Januari 1926). Beliau adalah putra
bungsu Kyai Shiddiq dari lbu Nyai H. Zaqiah (Nyai Maryam) binti KH. Yusuf
Achmad
ditinggal abahnya dalam usia ± 8 tahun. Dan sebelumnya pada usia ± 4 tahun,
Achmad sudah ditinggal ibu kandungnya yang wafat ditengah perjalanan di laut,
ketika pulang dari menunaikan ibadah haji. Jadi, sejak usia anak-anak, Kyai
Achmad sudah yatim piatu. Karena itu, Kyai Mahfudz Shiddiq kebagian tugas
mengasuh Achmad, sedangkan Kyai Halim Shiddiq mengasuh Abdullah yang masih
berumur ± 10 tahun. Ada yang menduga, bahwa bila Achmad terkesan banyak
mewarisi sifat dan gaya berfikir kakaknya (Kyai Mahfudz Shiddiq). Kyai Achmad
memiliki watak sabar, tenang dan sangat cerdas. Wawasan berfilkirmya amat luas
baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum.
Kyai
Achmad belajar mengajinya mula-mula kepada Abahnya sendiri, Kyai Shiddiq. Kyai
Shiddiq sebagaimana uraian-uraian sebelumnya, dalam mendidik terkenal sangat
ketat (strength) terutama dalam hal sholat. Beliau wajibkan semua
putra-putranya sholat berjama’ah 5 waktu. Selain mengaji pada abahnya, Kyai
Achmad juga banyak menimba ilmu dari Kyai Machfudz, banyak kitab kuning yang
diajarkan oleh kakaknya,
Sebagaimana
lazimnya putra kyai, lebih suka bila anaknya dikirim untuk ngaji pada kyai-kyai
lain yang masyhur kemampuannya. Kyai Mahfudzpun mengirim Kyai Achmad menimba
i1mu. di Tebuireng. Semasa di Tebuireng, Kyai Hasyim melihat potensi kecerdasan
pada Achmad, sehingga, kamarnya pun dikhususkan oleh Kyai Hasyim. Achmad dan
beberapa putra-putra kyai dikumpulkan dalam satu. kamar. Pertimbangan tersebut
bisa dimaklumi, karena para putra kyai (dipanggil Gus atau lora atau Non)
adalah putra mahkota yang akan meneruskan pengabdian ayahnya di pesantren,
sehingga pengawasan, pengajaran dan pembinaannyapun cenderung dilakukan secara,
khusus/lain dari santri urnumnya.
Pribadinya
yang tenang itu. menjadikan Kyai Achmad disegani ol eh teman-temannya. Gaya
bicaranya yang khas dan memikat sehingga dalam setiap khitobah, banyak santri
yang mengaguminya. Selain itu, Kyai Achmad juga seorang kutu buku/ kutu kitab
(senang baca). Di pondok Tebuireng itu pula, Kyai Achmad berkawan dengan Kyai Muchith
Muzadi. Yang kemudian hari menjadi mitra diskusinva dalam merumuskan
konsep-konsep strategis, khususnya menyangkut ke-NU-an, seperti buku Khittah
Nandliyah, Fikroh Nandliyah, dan sebagainya.
Kecerdasan
dan kepiaNvaiannya berpidato, menjadikan Kyai Achmad sangat dekat hubungannya
dengan Kyai Wahid Hasyim.
Kyai
Wahid telah membinbing Kyai Achmad dalam Madrasah Nidzomiyah. Perhatian Gus
Wahid pada. Achmad sangat besar. Gus Wahid juga mengajar ketrampilan mengetik
dan membimbing pembuatan konsep-konsep.
Bahkan
ketika Kyai Wahid Hasyim memegang jabatan ketua. MIAI, ketua NU dan Menteri
Agama, Kyai Achmad juga yang dipercaya sebagai sekretaris pribadinya. Bagi Kyai
Achmad Shiddiq, tidak hanya ilmu KH. Hasyim Asy’ari yang diterima, tetapi juga
ilmu dan bimbingan Kyai Wachid Hasyim direnung¬kannya secara mendalam. Suatu
pengalaman yang sangat langka, bagi seorang santri.
B. KETOKOHAN KYAI AHMAD
Ketokohan Kyai Achmad terbaca masyarakat sejak menyelesaikan belajar di pondok
di Tebuireng, Kyai Achmad Shiddiq muda mulai aktiv di GPII (Gabungan Pemuda
Islam Indonesia) Jember. Karirnya di GPII melejit sampai di kepengurusan
tingkat Jawa Timur, dan pada Pemilu 1955, Kyai Achmad terpilih sebagai anggota
DPR Daerah sementara di Jember.
Perjuangan
Kyai Achmad dalam mempertahankan kemerde¬kaan ’45 dimulai dengan jabatannya
sebagai Badan Executive Pemerintah Jember, bersama A Latif Pane (PNI), P.
Siahaan. (PBI) dan Nazarudin Lathif (Masyumi). Pada saat itu, bupati dijabat
oleh “Soedarman, Patihnya R Soenarto dan Noto Hadinegoro sebagai sekretaris
Bupati.
Selain
itu, Kyai Achmad juga berjuang di pasukan Mujahidin (PPPR) pada tahun 1947.
Saat itu Belanda. melakukan Agresi Militer yang pertama. Belanda merasa
kesulitan membasmi PPPR, karena anggotanya adalah para Kyai. Agresi tersebut
kemudian menimbulkan kecaman internasional terhadap Belanda sehingga muncullah
Perundingan Renville. Renville memutuskan sebagai berikut:
1.
Mengakui daerah-daerah berdasar perjanjian Linggarjati
2. Ditambah daerah-daerah yang diduduki Belanda lewatAgresi harus diakui
Indonesia.
Sebagai
konsekwensinya perjanjian Renville, maka pejuang¬-pejuang di daerah kantong
(termasuk Jember) harus hijrah. Para pejuang dari Jember kebanyakan mengungsi
ke Tulung Agung. Di sanalah Kyai Achmad mempersiapkan pelarian bagi para
pejuang yang mengungsi tersebut.
Pengabdiannya
di pemerintahan dimulai sebagai kepala KUA (Kantor Urusan Agama) di Situbondo.
Saat itu di departemen Agama dikuasai oleh tokoh-tokoh NU. Menteri Agama adalah
KH. Wahid Hasyim (NU). Dan karirnya di pemerintahan melonjak cepat. Dalam waktu
singkat, Kyai Achmad Shiddiq menjabat sebagai kepala, kantor Wilayah Departemen
Agama di Jawa Timur.
Di
NU sendiri, karir Kyai Achmad bermula di Jember. Tak berapa lama, Kyai Achmad
sudah aktiv di kepengurusan tingkat wilayah Jawa Timur, sehingga di NU saat itu
ada 2 bani Shiddiq yaitu: Kyai Achmad dan Kyai Abdullah (kakaknya). Bahkan pada
Konferensi NU wilayah berikutnya, pasangan kakak beradik tersebut dikesankan
saling bersaaing dan selanjutnya Kyai Achmad Shiddiq muncul sebagai ketua
wilayah NU Jawa Timur
Tetapi
Kyai Achmad merasa tidak puas dengan kiprahnya selama ini. Panggilan suci untuk
mengasuh pesantren (tinggalan Kyai Shiddiq) menuntut kedua Shiddiq tersebut
mengadakan komitmen bersama. Keputusannya adalah Kyai Abdullah Shiddiq lebih
menekuni pengabdian di NU Jawa Timur, sedangkan Kyai Achmad Shiddiq mengasuh
pondok pesantrennya,
Kyai
Achmad Shiddiq termasuk ulama yang berpandangan moderat dan unik sebagai tokoh
NU dan kyai, ia tidak hanya alim tetapi juga memiliki apresiasi seni yang
mengagumkan. Beliau tidak hanya menyukai suara Ummi Kultsum, bahkan juga suka
suara musik Rock seperti dilantunkan Michael Jackson. “Manusia itu memiliki
rasa keindahan, dan seni sebagai salah-satu jenis kegiatan manusia tidak dapat
dilepaskan dari pengaturan dan penilaian agama (Islam). Oleh karena itu,
apresiasi seni hendaknya ditingkatkan mutunya. “Apresiasi seni itu harus
diutamakan mutu dari seni yang hanya mengandung keindahan menuju seni yang
mengandung kesempurnaan, lalu menuju seni yang mengandung keagungan.Selanjutnya
Kyai Achmad memberikan penjelasan sebagai berikut, Seni itu sebaiknya :
1
. Ada seni yang diutamakan seperti sastra dan kaligrafi.
2. Ada seni yang dianjurkan seperti irama lagu dan seni suara.
3. Ada seni yang dibatasi seperti seni tari.
4. Ada seni yang dihindari seperti pemahatan patung dan seni yang merangsang
nafsu
Dalam
memberikan nama untuk anak-anak-nya, Kyai Achmad senantiasa mengkaitkan calon
nama yang bernuansa seni dengan pengabdian atau peristiwa-penstiwa penting.
Seperti kelahiran putranya yang lahir bersamaan dengan karimya sebagai anggota
DPR Gotong-Royong, yaitu Mohammad Balya Firjaun Barlaman, demikian juga Ken
Ismi Asiati Afrik Rozana, lahir bertepatan dengan konferensi Asia Afrika.
Kyai
Achmad menikah dengan Nyai H. Sholihah binti Kyai Mujib pada tanggal 23 Juni
1947, dan dikaruniai 5 orang anak, yaitu:
1. KH. Mohammad Farid Wajdi (Jember)
2. Drs. H. Mohammad Rafiq Azmi (Jember)
3. Hj. Fatati Nuriana (istri Mohammad Jufri Pegawai PEMDA Jember).
4. Mohammad Anis Fuaidi (wafat kecil), clan
5. KH. Farich Fauzi (pengasuh pondok pesantren Al-Ishlah Kediri).
Nyai
Sholihah tidak berumur panjang, Allah memanggilnya ketika putra-putrinya masih
kecil. Sehingga keempat anaknya itu di asuh oleh Nyai Hj. Nihayah (adik kandung
ketiga Nyai Sholihah). Melihat eratnya hubungan anak-anak dengan bibinya, maka
Nyai Zulaikho (kakaknya) kemudian mendesak Kyai Achmad agar melamar Nihayah.
Dan Kyai Mujib pun menerima lamaran tersebut. Pernikahan Kyai Achmad Shiddiq
dengan Nyai Hj. Nihayah binti KH. Mujib (Tulung Agung) memnpunyai 8 orang
putra, yaitu:
1. Asni Furaidah (isteri Zainal Arifin, SE.)
2. Drs. H. Moh. Robith Hasymi (Jember).
3. Ir. H. Mohammad Syakib Sidqi (Dosen di Sumatra Barat)
4. H. Mohammad Hisyarn Rifqi (suami Tahta Alfina Pagelaran, Kediri).
5. Ken Ismi Asiati Afrik Rozana, BA (istri Drs. Nurfaqih, guru SMA Jember).
6. Dra. Nida, Dusturia (istri Tijani Robert Syaifun Nuwas bin Kyai Hamim
Jazuli).
7. H. Mohammad Balya Firjaun Barlaman (pengasuh PP. Al Falah Ploso Kediri).
8. Mohammad Muslim Mahdi (wafat kecil)
Aktivitas
pengajian Kyai Achmad mendapatkan sambutan hangat di masyarakat. Pesan-pesan
agama disampaikannya dengan bahasa dan logika yang sederhana sehingga mudah
dicerna. semua kalangan. Pengajian-pengajiannya dikemas secara khusus, seperti
yang peruntukkan untuk masyarakat umum (kalangan awam) pada setiap malam senin
sudah dirintisnya sejak tahun 1970-an dan tetap berlangsung hingga sekarang,
Pengajian setiap malam Selasa, yang diperuntukkan bagi kalangan intelektual,
sarjana, dosen dan tokoh-tokoh masyarakat membahas secara, kontemporer dan
apresiatif kitab Ihya’ Ulumiddin karangan Imam Ghozali.
Pengajian-pengajian
Kyai Achmad banyak bernuansa Tasawwuf. Ada 3 unsur utarna dari tasawwuf yang dapat
menuntun seseorang untuk bertasawwuf dari tingkat rendah menuju peningkatan
diri secara bertahap, yaitu:
1. Al Istiqomah: yang berarti; tekun, telaten, terus-menerus tidak bosan-bosan
mengamalkan apa saja yang dapat diamalkan Mungkin baca Yasin tiap malam Jum’at,
mungkin baca Istighfar sekian kali dalam setiap malam, dan sebagainya.
2. Az Zuhd: yang berarti terlepas dari ketergantungan hati /batin dengan harta
benda kekuasaan, kesenangan, dan sebagainya, yang ada, di tangannya sendiri,
apalagi yang ada di tangan orang lain. Tidak tergantung berbeda dengan tidak
memiliki, berbeda, dengan tidak punya. Seorang “Zahid” bisa saja kaya, tetapi
hatinya tidak tergantung pada kekayaannya. Barang siapa yang tidak berputus asa
karena sesuatu yang terlepas dari tangannya dan tidak bergembira, (melewati
batas) dengan sesuatu yang diterimanya dari Allah maka dia sudah mendapatkan
zuhud pada, kedua belah ujungnya.
3. Al Faqir: artinya, selalu menyadari kebutuhan diri kepada Al¬lah. Kesadaran
yang mendalam dan terus-menerus, tentang “dirinya membutuhkan Allah” tidak
selalu ada pada setiap or¬ang. Pada suatu saat kesadarannya, akan tinggi tetapi
saat lain kesadarannya menurun.
C. DZIKRUL GHOFILIN
Pengajian malam Senin tersebut itu dinamakan “Majlis Dzikrul Ghofilin” yang
artinya, majlis dzikirnya orang-orang lupa. Maksudnya orang-orang yang lupa
adalah sifat relatif pada manusia yang selalu lupa. (agar selalu ingat Allah)
sehingga perlu selalu diingatkan melalui Dzikir tersebut. Pada acara-acara
tersebut, selain mengamalkan sholat tasbih, dzikir, Kyai Achmad biasanya
mendahului menyampaikan ceramah agamanya.
Majlis
Dzikrul Ghafilin yang dirintis pada awal tahun 1970-an tersebut 20 tahun
berikutnya telah dilkuti oleh sekitar 20.000 orang Jamaah yang tersebar
diseluruh Jawa, dan selanjutnya Jamaah pada setiap daerah mengembangkannya
lebih lanjut dikawasan masing-masing.Secara historis, pada tahun 1973 Kyai
Achmad mendapat ijazah dari Kyai Hamid untuk membaca Fatihah 100 kali setiap
hari. Selanjutnya. Kyai Achmad mengadakan riyadlah di PPI. Ashtra beberapa
tahun, baru setelah itu bacaan fatihah 100 kali dipadukan dengan bacaan lain
untuk diwiridkan bersama-sama. Kemudian cara mernbacanya bisa dibagi dan
dicicil dengan ketentuan: Subuh 30 kali, Dhuhur 25 kali, Ashar 20 kali, Maghrib
15 kali dan Isya’ 10 kali. Dzikrul Ghafilin paling afdhal jika dibaca setelah
sholat dan dibaca dengan hati yang talus ikhlas. Ada ceritera menarik antara
Kyai Achmad dan Kyai Hamid: “Setiap memasuki tapal batas Pasuruan, Kyai Achmad
selalu mengucapkan salam kepada Kyai Harnid. Ketika bertemu, Kyai Hamid
menyatakan bahwa beliau selalu menjawab salam Kyai Achmad”.
Dzikrul
Ghafilin yang namanya diambil dari Al-Qur’an surat Al-A’raf 172 dan 265 menurut
Kyai Achmad adalah wirid biasa, bukan wirid. thariqat. Jika tariiqat dengan
bai’at, kalau tidak menegakkan pasti dosa, sedang dzikrul ghafilin adalah
dengan ijazah. Pengamalannya tanpa menimbulkan efek camping dan isi bacaannya
terdiri dari Al-Fatihah, Asmaul Husna, Ayat Kursi, Istighfar, Sholawat dan tahlil
Ada
3 orang Kyai yang ikut meramu bacaan-bacaan dalam dzikrul ghafilin, yaitu: KH.
Abdul Hamid bin Abdullah (Pasuruan), KH. Achmad Shiddiq (Jember) dan KH. Hamim
Jazuli (Gus Mik, Kediri). Bahkan menurut Gus Mik, ada tiga tokoh lagi yang ikut
andil dalam wirid dzikrul ghafilin, yaitu Mbah Kyai Dalhar (Gunung Pring
Muntilan Magelang), Mbah Kyai Mundzir (Banjar Kidul Kediri), dan Mbah Kyai
Hamid (Banjar Agung Magellang).
Tawashul
bil Fatihah, dalam kitab dzikrul ghafilin ditujukan kepada:
1 . Rasulullah Muhammad Saw.
2. Malaikat Jibril, Mikail, Isrofil, Izroil, Penjaga Arsy, dan Malaikat
Muqorrobin.
3. Nabi-nabi dan Rasul-rasul
4. Ulul Azmi (Nabi Nuh As, Nabi lbrohim As, Nabi Musa As, Nabi Isa dan Nabi
Muhammad saw)
5. Istri-istri Nabi (Siti Aisyah, Siti Hafsoh. Siti Sa’udah, Siti Shofiayh,
Siti Maimunah, Siti Roulah, Siti Hindun, Siti Zainab, dan Siti Zuwairiyah)
6. Putra-putri Nabi (Qosyim, Abdullah, Ibrohim, Fatimah, Zainab, Ruqoyyah dan
Ummi Kultsum).
7. Keturunan (Dzurriyah) Nabi saw.
8. KeluargaNabi saw.
9. Shahabat Nabi saw, khususnya Ahli Badar (yang wafat saat perang Badar, dari
Muhajirin dan Anchor)
10. Pengikut Nabi saw yaitu para Syuhada’, ‘ulama, ‘auliya’, sholihin,
mushonniffin, muallifin, Mbah-mbah, orang tua (bapak dan ibu) dan orang-orang
yang benar.
11. Nabi Khodliri Abi Abbas Balya bin Malkan As.
12. Sultonil’ Auhya’ Awwal yaitu:
a. Abi Muhammad Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib
b. Sayyidina Husein ra.
c. Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra.
d. Sayyidatina. Fatimah Az-Zahro ra,
13. Sayyid Syech Muhyiddin Abu Muhammad (Sultonil’ Auliya’ Syech Abdul Qodir
Al-Jilani ra) bin Abi Sholih Musa jangkadusat
14. Sayyid Syech Ali Muhammad Bahauddin Naqsabandi ra.
15. Sayyid Syech Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali ra.
16. Sayyid Syech Achmad Ghozali (adik Imam Ghozali)
17. Sayyid Syech Abi Bakar As-Syibbli ra.
18. Sayyid Syech Qutub Ghowtsi Habib Abdillah bin Alwi Haddad ra.
19. Sayyid Syech Abi Yazid Toymuri bin lsa Bustomi ra.
20. Sayyid Syech Muhammad Hanafi.
21. Sayyid Syech Yusuf bin Ismail A-Nabhani ra.
22. Sayyid Syech Jalaluddin As-Suyuti ra.
23. Sayyid Syech Abu Zakariya Yahya bin Sarafinnawawi ra.
24. Sayyid Syech Abdul Wahhab As-Syaroni ra.
25. Sayyad Syech Ali Nuruddin Asy-Syowni ra.
26. Sayyid Syech Abi Abbas Achmad bin Ali Al-Buni ra.
27. Sayyid Svech Ibrohim bin Adhama ra.
28. Sayyid Syech Ibrohim. Ad-Dasuqi ra.
29. Sayyid Syech Abu Abbas Syihabuddin Achmad bin Umar Anshori Al-Anshori
Al-Mursiy
30. Sayyid Syech Sa’id Abdul Karim Al-Bushiri.
31. Sayyid Syech Abu Hasan Al-Bakri.
32. Sayyid Syech Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bucho¬ri.
33. Sayyid Syech Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani.
34. Sayyid Syech Tajuddin bin Athoillah Al-Askandari ra.
35. Mazhab Ernpat, Khususnya:
a Sayyid Syech Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i
b. Sayyid Syech Abu Hafsin Umar As-Suhrawardi
c. Sayyid Syech Abi Madyan
d- Sayyid Syech Ibnu Maliki Al-Andalusi
e. Sayyid Syech Abu Abdulloh Muhammad bin SulaimanAl¬ Jazuli
f Sayyid Syech Muhyiddin bin Al-Arabi
g. Sayyid Syech Imon bin Husayni ra.
36. Al Qutub Al Kabir Sayyid Syech Abdussalam 1bnu Masyisyi
37. Sayyid Syech Abu Hasani. Ali bin Abdillah bin Abdul Jabbar As-Syadzi1i
38. Sayyid Syech Abi Mahfudz Ma’ruf Al-Karkhiy
39. Sayyid Syech Abi Hasani Sari As-Saqofi
40. Sayyid Syech Abu Qosim Al-Imam Junaidi Al-Baghdadi
41. Sayyid Syech Abu `Abbas Ahmad Badawi
42. Sayyid Syech Abu Husain Rifa’i
43. Sayyid Syech Abu Abdillah Nu’ man
44. Sayyid Syech Imam Hasani bin Abu Hasani Abi Sa’id Bashri
45. Sayyidati Robi’ah Al-Adawiyah ra.
46. Sayyidati Ubaidah binti Abi Kilab ra
47. Sayyid Syech Abu Sulaiman Ad-Daroni ra
48. Sayyid Syech Abu Abdillah Al-Harits bin Asadi Al-Muhasibi ra.
49. Sayyid Syech Abi Faydl dzinnun Al-Misry ra,
50. Sayyid Syech Abi Zakariyya. Yahya bin Mu’adz Ar-Rozy ra
51. Sayyid Syech Abi Sholih Hamdun an-Naisabur.
52. Sayyid Syech Husaini bin Mansur Al-Hallaj ra.
53. Sayyid Syech Jalaluddin Ar-Rumy ra.
54. Sayyid Syech Abi Hafsin Syarafiddin Umar bin Farid Al- Hamawiy Al-Mirsi ra.
55. Ikhwan Dzikrul Ghafilin
56. Orang yang hidup dan mati baik itu:
a. Orang-orang shalihin
b. Auliya Rijalillah
c. Orang-orang yang Arif
d. Ulama Amilin
e. Para Auliya Jawa dan Madura khususnya Wali Songo
f. Kaum Sufi Muhaqiqin
Tentang
“Tawassul”, Kyai Achmad memberikan penjelasan bahwa do’ a tawashul ada dua
macam:
1.
Doa yang harus “dikatrol”, yaitu. Yaitu orang yang tidak faham dan tidak maqbul
do’ anya akan dikatrol (ditolong) oleh orang faham dan khusyu’ dalam berdo’a
Hal ini sama dengan sholat berjama’ah tersebut. Bila salah satu diterima amal
sholatnya maka diterima semua yang berjama’ah tersebut. Karena itu sholat
berjama’ah lebih baik dari sholat sendiri. Bahkan Imam Hambali menghukumi
Fardlu Ain. Ada Hadits Nabi sebagai berikut: “Nabi didatangi seorang sahabat.
Sahabat menyampaikan bahwa ia sering lupa do’a yang sudah diajarkan Nabi. Lalu
Nabi mengatakan, “Bacalah do’a di bawah ini” maka nilainya sama”.
“Ya Allah aku tidak tabu apa yang di doakan oleh Nabi Tapi aku juga ikut mohon
doa itu. Dan apa yang diminta NAbi untuk dijauhkan dari bahaya, aku juga mohon
ya Allah”.
4.
Doa yang bersifat “dorongan” yaitu: orang yang berdoa tidak maqbul karna
jiwanya tidak bersih, sehingga perlu didorong atau di amini oleh orang yang
maqbul doanya dan bersih hatinya¬Ada hadits sebagai berikut “Ada tiga orang
sahabat yang sedang berzikir di masjid. Salah satunya adalah Abu Hurairah yang
masih muda usia. Lalu masuklah Nabi sambil bersabda: berdoalah kamu dan aku
mengamininya. Satu persatu mereka berdoa dan di amini oleh Nabi. Giliran ketiga
pada Abu Hurairah berdoa sebagai berikut: “Ya Allah semua yang diminta sahabat
yang pertama, aku mohon juga. Begitu pula yang diminta sahabat yang kedua aku
mohon juga Sekarang aku mohon untuk diriku sendiri. Ya Allah sejak kecil aku
ini pelupa, aku mohon agar dapat hafal semua yang diajarkan Nabi”. Doa Abu Hurairah
inipun di amini Nabi, maka sejak itulah la menjadi penghafal/perawi Hadits
terbanyak. Ini karena dorongan amin Nabi yang langsung di terima Allah”.
Pengajian
Dzikrul Ghafilin ini semakin lengkap dan dilkuti oleh ribuan muslimin/muslimat,
setelah digabung dengan sema’an Al-Qur’an Mantab” yang dirintis oleh Gus Mik,
dan kini dikoordinasi oleh KH. Farid Wajdi (putra Sulung Kyai Achmad).
Pengajian “Dzikrul Ghafillin dan Istima’ul Qur’an” ini tidak hanya dilakukan di
Jember, bahkan hampir semua Kabupaten di Jawa Timur dan Jawa Tengah (ternasuk
Kraton Yogya dan kantor¬kantor pemerintah pun) sudah mengadakan kegiatan ini
secara rutin.
Kedekatan
KH. Achmad Shiddiq dengan Gus Mik tidak hanya pada penggabungan Dzikrul
Ghofilin dengan sema’ an Qur’ an Mantab saja. Bahkan eratnya hubungan itu
terikat rapat setelah kedua tokoh itu “besanan”. Putra Kyai Achmad (Gus Hisyam
Rifqi) menikah dengan putri Gus Mik (Tahta Alfina Pagelaran) sedang Ning Nida
Dusturia (Putri Kyai Achmad) Dinikahkan dengan Gus Robert Syaifun Nuwas (putra
Gus Mik), lebih dari itu Gus Firjaun (putera Bungsu Kyai Achmad) menikah dengan
Ning Sofratul Lailiyah (Ponaan Gus Mik).
Dengan
dzikrul ghafilin Kyai Achmad berikhtiar menciptakan suasana religius guna
membentengi masyarakat dalam memasuki kehidupan modern, karena modernisasi
menurut Kyai Achma cenderung membawa mudirrunisasi. yakni suatu proses yan
mengarah kepada sesuatu yang memudharatkan, sehingga pengembangan suasana
religius merupakan kondisi yang harus mendapatkan prioritas.
D. BINTANG KYAI ACHMAD
Pada Munas Ulama NU di Situbondo pada bulan Desember 1983, KH. Achmad Shiddiq
menjelaskan makalahnya tentang “Penerimaan Azas Tunggal Pancasila bagi NU”.
Beliau menyampaikan pokok-pokok fikiran dan berdialog tanpa kesan apolog:
Beliau ungkap argumentasi secara mendasar dan rasional dari segi agama,
historis maupun politik. “Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan
saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan”,kata
Kyai Achmad.
Lebih
lanjut ditegaskan: “NU menerima Pancasila berdasar pandangan syari’ah. bukan
semata-mata berdasar pandangan politik. Dan NU tetap berpegang pada ajaran
aqidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama
38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya katanya setengah
bergurau penuh diplomatic. Sungguh luar biasa, ratusan kyai yang sejak awal
menampik Pancasila sebagai satu¬-saatunya Azas organisasi, berangsur-angsur
berobah sikap dan menyepakatinya. Sejak saat itulah, sejarah mencatat NU
menjadi ormas keagamaan yang pertama menerima Pancasila sebagai satu-satunya
Azas.
Nama
Kyai Achmad melejit bak “Bintang Kejora”, dalam Munas NU itu. Dan tak heran,
dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo itu, Kyai Achmad Shiddiq terpilih sebagai
Ro’is Aam PBNU, sedang KH. Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Tanfidziahnya,
bentuk pasangan yang, ideal.
Duet
Kyai Achmad dan Gus Dur temyata marnpu mengangkat pamor NU ke permukaan.
Beberapa. kali NU bisa selamat ketika menghadapi setiap persoalan besar dan
pelik berkat kepemim¬pinan keduanya. Semisal goncangan, ketika Kyai As’ ad yang
kharismatik mengguncang NU dengan sikap mufaroqohnya terhadap kepemimpinan Gus
Dur. Dalam Munas NU di cilacap tahun 1987, Kyai As’ ad menginginkan Gus Dur
dijadikan agenda Munas, dan diganti. Namur demikian, Kyai Achmad Shiddiq dan
Kyai Ali Ma’shum tampil membelanya.
Kyai
Achmad dalam posisi sulit dan menentukan itu mampu meyakinkan warga NU untuk
tetap kukuh dengan khittah NU 1926. Pada Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada
tahun 1989 Kyai Achmad menegaskan pendiriannya tentang Khittah. “NU ibarat
kereta, api, bukan taksi yang bisa, dibawa, sopirya, ke mana, saja. Rel NU
sudah tetap”, ujarnya bertamsil. Dengan tamsil ini pula Muktamar Yogyakarta
dapat mempertahankan duet Kyai Achmad dengan Gus Dur.
Dan
kepulangan Kyai Achmad dari Muktamar Yogyakarya, Kyai Achmad sakit Diabetes
Melitus (kencing manis yang parsh). Kyai Achmad dirawat di RS. Dr. Sutomo,
Surabaya.
“Tugasku di NU sudah selesai”, kata Kyai Achmad Shiddiq pada rombongan PBNU yang
membesuknya di RSU Dr. Sutomo, Ternyata isyarat itu benar. Tanggal 23 Januari
1991, Kyai Achmad Shiddiq wafat. Rois Aam PBNU yang berwajah sejuk itu
menanggalkan beberapa jabatan penting:
1. Anggota DPA (Dewan Pertimbanzan Agung)
2. Anggota BPPN (Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional)
KH
Achmad Shiddiq dimakamkan di kompleks makam Auliya, Tambak Mojo, Kediri. Di
makam itu juga sudah dimakamkan 2 orang Auliya sebelumnya. “Aku seneng di sini
Besok kalau aku mati dikubur sini saja”, wasiat Kyai Achmad pada istri dan
anak-anaknya. Walaupun berat hati karena jauhn dari Jember, keluarganyapun
merelakannya sebagai penghormatan pada bapak yang sangat di cintainya
Ribuan
muslimin dan muslimat melayat ke pemakaman Kyai Achmad Shiddiq. Jenazah
terlebih dulu disemayamkan di rumah duka (kompleks Pesantren Ashtra.
Talangsari) dan keesok harinya, barulah beriring-iringan mobil yang berjumlah
seratus itu mengantarkannya di tempat yang jauh, tetapi menyenangkannya. Sang
Bintang Kejora itu jauh dari Jember tetapi sinarnya tetap cemerlana dari
pemakaman Tambak nun jauh.
Sekitar
5 tahun setelah wafatnva, tepatnya pada tanggal 9 Nopember 1995, Kyai Achmad
masih mendapatkan penghargaan “Bintang Maha Putera NARARYA, dari Pemerintah dan
beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional Mantan Tokoh NU (Sumber ; Buku
Biografi Mbah Shiddiq)
Kyai
Hamid bin Abdullah Umar
Kiai
Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem,
Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah
pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi
itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum
berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul
Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan
menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi
memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar
biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya
Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau
melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang
masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar
biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak
bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola,
dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya
otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji
kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi,
dua “pentolan” ulama Lasem.
Kiai Hamid Pasuruan: Kini Sulit Dicari
Padanannya
Kiai
Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem,
Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah
pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi
itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum
berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul
Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini
diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi
memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar
biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya
Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau
melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang
masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar
biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak
bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola,
dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya
otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji
kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi,
dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika
mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu
kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup
tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid
Pasuruan.
Meski
begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau,
setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq
(Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji
itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada
usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke
Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia
tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah
ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan
berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah
KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH.
Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun
kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau
mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang
hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia
tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan
yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak Suka Dipuja
Setelah
12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh
pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.
Konon,
Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq,
supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan
yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa
berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat
pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti
disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September
1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid
Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal
rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid
Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk
pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah
Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
Di
sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria
baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang
semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai
Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah
pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai
tolan.
Prihatin
Sejak
itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian,
Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah
kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi
samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk
menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli
sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare
part dokar.
Hari-hari
mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau
tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang
sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban
supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa,
terus berusaha dan berusaha.
Kala
itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal
di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya
santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah.
Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan:
Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar
1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok
Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib
Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto,
beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek
sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di
Lasem.
Fenomenal
Kiai
Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah.
Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan
disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun
tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh
natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat
cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar
yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru;
hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok
yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk;
hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun
perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Perkembangan
fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji”
lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan
membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya
Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru
spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai
Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal
1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya
mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati
semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui
kewalian seseorang).
Lurus
Ketika
Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa
tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung.
Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau
mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid
mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat
kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat
menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang
canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan
terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima
sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap
tawadhu’ itu.
Beliau
memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih
duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai
Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan
Abdillah.
Hormat
Beliau
bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang
jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya,
bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka
semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa
disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya:
penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga
tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang
pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau
sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya
sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya,
beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki,
seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri
yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya.
Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap
tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini
beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh.
Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap
tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun
meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda
Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Sabar
Beliau
sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di
balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat
riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah
itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi
beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau,
misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga
hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu
tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam.
Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur,
jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara
halus sekali.
Beliau
juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para
santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya,
barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki
kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering
melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh
seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja
orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya
tadi.
Beliau
juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah
dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit Hati
Melalui
riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah
berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya
penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah
berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk
bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja
kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya
masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh
datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak
segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal
di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh
Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan
rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan
ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan
menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun
umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau
orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan
hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau
menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah.
Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”
Manusia Biasa
Kiai
Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak
hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru
moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok
diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di
mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri
tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun
beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan
kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M,
menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat
lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di
rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari
sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena
penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi
wa inna lillahi raji’un.
Umat
pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan,
bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi
relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang
dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak
serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta,
mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal.
Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah
dia.
|
WALIYYULLOH MBAH KH DALHAR WATUCONGOL
Kelahiran & Nasabnya
Mbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan,
Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari
1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi.
Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin
Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran
Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas
atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga
mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan,
Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang
mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru
diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa
tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah
seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu
senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan
kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf
tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam
gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang
dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer
Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh
karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu
perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad
dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan
waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan
serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian
tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu
membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren
Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun
letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh
Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai
Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja
letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu
Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.
Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan
pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya
untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau
belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu
Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar
mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan
masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten
Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah
dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi
Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai
Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi
Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama
di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas
dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang
lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera
laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah
menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai
Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan
pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada
shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu
bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid
Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah
Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di
Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai
Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil
menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman
telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah
sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.
Sesampainya
di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid
Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman
dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama
Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari
serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat
belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar”
pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar.
Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang
diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya
atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih
masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Allahu Akbar.
Ketika
berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah
As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat
dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu
menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga
pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan
nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr
karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang
cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika
usianya belum menginjak dewasa.
Selama
di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu
goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa
dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air
zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan
riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri –
santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah
buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk
qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain
mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga
senang melakukan dzikir sirr. Ketika
sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3
hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah
As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai
Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai
Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH
Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal
(meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar.
Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat
kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Karamahnya
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah.
Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
Suaranya
apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter
walau tidak menggunakan pengeras suara
Mengetahui
makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau
masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat tinggal
Dll
Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani.
Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan
‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah
As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian.
Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya
beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah
kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena
beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di
Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru
kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus,
Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.
Wafatnya
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat
pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan
8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959.
Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing.
Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar),
yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
Demikianlah
manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua
pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun
nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri
bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.
Ditulis
oleh : Muhammad Wava Al-Hasani
KH.MUBASSYIR MUNZIR
Kediri,
suatu kawasan di wilayah Propinsi Jawa Timur,telah lama dikenal sebagai salah
satu tempat penggemblengan dan penggodogan, kawah candradimuka, pencetak
kader-kader handal dalam bidang keilmuan agama Islam. Hal ini tidak terlepas
dari
banyaknya Pesantren yang tersebar di daerah ini, baik di wilayah Kota maupun
Kabupaten, di kota, dan terlebih lagi di kawasan pedesaannya. Sebutlah di
antaranya
Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien, atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Pesantren
Lirboyo,
Pesantren Al-Falah Ploso, Pesantren Al-Ihsan Jampes dan lain sebagainya.
Pesantren-Pesantren tersebut umumnya memiliki kekhususan (dalam hal pengajaran
dan pengamalan) dalam bidang-bidang tertentu, walaupun akhirnya sama-sama
bermuara pada pendalaman Ilmu-ilmu Agama Islam.
Sementara
itu, di sebelah barat alun-alun kota Kediri, setelah menyeberangi Kali Brantas,
terdapat suatu kawasan yang kental dengan nuansa Islami.Kawasan itu dikenal
dengan
nama Bandarkidul. Di wilayah Bandarkidul ini,terdapat sediitnya lima Pesanrtren
yang
berafiliasi pada RMI (Rabithatul Ma’ahid Al-Islamiyyah), suatu
organisasi/Asosiasi
Perhimpunan Pesantren di bawah naungan NU (Nahdlatul Ulama). Salah satu
diantara
lima Pesantren itu adalah Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma’unah Sari.
Sesuai
dengan nama yang disandangnya,Pesantren ini adalah merupakan suatu
Lembaga Pendidikan yang menyediakan program menghafalkan al-Qur-an (bil-Ghaib),
disamping juga tersedia program pengajian Al-Qur-an Bin-Nadhar (tidak
menghafal).
Pesantren ini diharapkan mampu menelorkan alumnus-alumnus yang merupakan
generasi-generasi penghafal Al-Qur-an,yang berjiwa dan berakhlaq Qur-any.
Atau dengan kata lain, insan hafidh al-Qur-an, lafdhan wa ma’nan wa ‘amalan.
Sanad / Silsilah Alqur-an-nyapun muttashil kepada Nabi Muhammad SAW.
Dari berbagai sumber informasi yang ada, Pesantren ini didirikan pada tahun
1967
oleh KH.M.Mubassyir Mundzir, seorang ulama kharismatik dan terkenal pada masa
itu.
Pada awal berdirinya, Pesantren ini lebih mengkhususkan diri pada bidang
Tashawwuf,
terutama peng-’Istiqomah’-an sholat berjamaah dan wirid/dzikir. Hal ini
berjalan kurang lebih
selama lima tahun. Pesantren inipun pada saat itu hanya menerima santri Putera.
Barulah,
pada tahun 1973, setelah beliau menikah, Pesantren ini menerima santri puteri.
Dan mulai pada tahun itu pula, Pesantren ini mulai membuka Program Pengajian
Al-qur-an
Bil-Ghoib (hafalan). Hal ini adalah karena isteri beliau,ibu Nyai Hj.Zuhriyyah
adalah merupakan
seorang Hafidhah(penghafal) Al-Qur-an.Lebih dari itu, beliau juga merupakan
puteri dari
Ulama terkenal, KH.Munawwir Krapyak Jogjakarta,yang selain seorang Hafidh, juga
termasyhur
sebagai Perintis Pesantren Tahfidh al-Qur-an di Indonesia, seorang kampiun
dalam bidang
Ilmu-Ilmu Al-Qur-an dan seorang ahli Qira-ah Sab’ah.
Seiring
dengan berjalannya sang waktu, Pesantren Ma’unah Sari pun terus berkembang,
baik dari segi jumlah santri, program pengajian, dan juga lingkungan pendidikan
yang
semakin representatif.Namun begitu,khusus untuk Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib,
masih terbatas
pada kalangan Santri Puteri, dibawah asuhan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir.
Pada
tahun 1989,muassis (pendiri) Pesantren, KH. M. Mubasyir Mundzir wafat.
Dengan iringan tangis pilu para santri dan khalayak masyarakat yang merasa
sangat
kehilangan, beliau dimakamkan di belakang masjid Pesantren Ma’unah Sari.
Sebelum
wafat, karena beliau tidak dikaruniai putera, beliau telah memberikan wasiat
yang berkaitan dengan regenerasi Pengasuh Pesantren. Dan sesuai dengan wasiat
beliau,
yang disaksikan oleh Ulama-ulama sepuh, tongkat estafet Pengasuh diamanatkan
kepada
K. R. Abdul Hamid Abdul Qadir yang saat itu dikenal dengan sebutan Gus Hamid.
Beliau adalah
putera dari KHR.Abdul Qadir Munawwir, Krapyak, kakak dari Ibu Nyai
Hj.Zuhriyyah.
Dengan kata lain, K. R.Abdul Hamid adalah keponakan Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah
Mundzir.
Dan dengan demikian,tercapailah cita-cita dari Pendiri,yang menginginkan
Pesantren
yang didirikannya kelak tumbuh dan berkembang menjadi tempat bagi para santri
yang
ingin menghafal Al-Qur-an. Hal ini adalah karena Kyai Abdul Hamid juga
merupakan
seorang penghafal Al-Qur-an (Hafidh) dan menguasai pula Qira-ah Sab’ah.
Selanjutnya,dibawah
asuhan dan bimbingan Kyai Abdul Hamid bersama Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah,
Pondok Pesantren Tahfidhul Qur-an Ma’unah Sari-pun semakin tumbuh dan
berkembang.
Latar belakang dan asal para santri juga terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat, dan berasal
dari berbagai pelosok Nusantara, termasuk Papua (Irian Jaya), Kalimantan,
Sulawesi,
Maluku, Sumatera, dan lebih-lebih dari Pulau Jawa. Mulai saat itu pula, dibuka
Program
Pengajian Al-Qur-an bil-Ghaib untuk santri Putera.
Diantara
para santri ini,banyak pula diantara mereka yang merupakan alumnus
Pesantren-Pesantren
kenamaan,seperti Pesantren Lirboyo dan Ploso, keduanya di Kediri , Pesantren
Tegalrejo Magelang,
Pesantren Langitan Tuban, dan lain sebagainya. Dengan berkumpulnya para alumnus
Pesantren-pesantren tersebut,tidaklah mengherankan apabila selain mengikuti
kegiatan-kegiatan wajib, terutama menghafal al-Qur-an, kerapkali terjadi
diskusi-diskusi
ala Bahtsul Masa-il, sebagai salah satru wujud pengembangan dari Ilmu-ilmu yang
mereka
peroleh di Pesantren mereka sebelumnya. Namun begitu, bagi mereka yang
kebetulan
belum pernah mengenyam pendidikan Pesantren sama sekali, tidak perlu berkecil
hati,
karena dari para alumnus Pesantren tadi, mereka bisa memperoleh arahan dan
bimbingan,
melalaui Madrasah Al-Mundziriyyah di Pesantren ini, yang mengajarkan pelajaran
dasar
yang sangat penting, sebagai bekal kelak di kemudian hari. Kalaupun masih
kurang puas,
mereka bisa mengaji di Pesantren-pesantren sekitar, termasuk di Pesantren
Lirboyo.
Selain
itu, diantara para santri juga tidak sedikit yang merupakan jebolan Perguruan
Tinggi,
sehingga mereka bisa menularkan ilmu dan pengalaman positif kepada rekan-rekan
mereka
sesama santri. Hal ini dirasa penting, terutama dalam kaitannya untuk menata
dan mengatur
manajemen organisasi Pesantren, agar lebih solid dan efisien.
SYAIR
PUJIAN KH. AHMAD DALHAR WATUCONGOL PADA JUNJUNGAN NABI MUHAMMAD SAW.
Syair
pujian ini biasa dibaca atau diwiridkan setiap selesai shalat fardhu, dan
khususnya setelah adzan Maghrib biasanya syair ini dikumandangkan di mushalla
atau masjid. Dan bagi santri-santri biasa juga dibaca sebelum dimulainya ngaji.
Syair ini kemungkinan beliau kutip dari kitabnya Syaikh Nawawi al-Bantani
al-Jawi, Maraqiy al-‘Ubudiyah (hlm. 3) syarah kitab Bidayat
al-Hidayah karya Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali. Tulisan berikut ini
disertai teks dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan Aceh.
بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ
لَمْ يَحْتَلِمْ قَطُّ طَهَ مُطْلَقًا أَبَدًا
وَمَا تَثَائَبَ أَصْلًا فِى مَدَى الزَّمَنِ
Lam
yahtalim qaththu Thaaha muthlaqan abadan # Wamaa tatsaa-aba ashlan fii
madazzamani.
Nabi Muhammad Saw. tidak pernah bermimpi jelek. Dan
tidak pernah pula menguap selamanya.
Nabi
han tom neumeulumpoe, malam uroe seulama-lama. Meuseumeunguep nabi pitan nibak
zameun sepanjang masa.
مِنْهُ الدَّوَابُ فَلَمْ تَهْرُبْ وَمَا
وَقَعَتْ
ذُبَابَةٌ أَبَدَا فِى جِسْمِهِ الْحَسَنِ
Minhu
ad-dawaabbu falam tahrab wamaa waqa’at # Dzubaabatun abadan fii jismihil
hasani.
Semua binatang tunduk patuh pada Nabi Saw. Betapa indahnya
badan beliau Saw. sampai seekor lalat pun tak berani menghinggapinya.
Binatang
kleud hantom jiplueng, jimeutemeung ngon maulana. Lalat nyamok pihantom roh
nibak tuboh yang mulia.
بِخَلْفِهِ كَأَمَامِ رُؤْيَةٌ ثَبَتَتْ
وَلَايُرَى أَثْرُ بَوْلٍ مِنْهُ فِى عَلَنِ
Bikhalfihii
ka-amaami ru-yatun tsabatat # Walaa yuraa itsru baulin minhu fii ‘alani.
Nabi Saw. mampu melihat belakang sama seperti melihat
depan. Dan sama sekali tak berbekas tatkala buang hajat.
Keue
ngon likot deuh neukalon, hana teusom bak maulana. Neutoh iek ek beukasan tan
wajeb taulan ta peucaya.
وَقَلْبُهُ لَمْ يَنَمْ وَالْعَيْنُ قَدْ
نَعَسَتْ
وَلَايُرَى ظِلُّهُ فِى الشَّمْسِ ذُو فَطَنِ
Waqalbuhuu
lam yanam wal ‘ainu qad na’asat # Walaa yaraa dzillahuu fis syamsi dzuu
fathani.
Hatinya tidak pernah tertidur, walau mata terpejam. Tak
ada bayangan meskipun berjalan di bawah terik matahari.
Hate
nabi han tom teungeud, yang na teuped dua mata. Meubayang tan dalam uroe
hireuen laloe takalon rupa.
كَتْفَاهُ قَدْ عَلَتَا قَوْمًا إِذَا جَلَسُوْا
عِنْدَ الْوِلَادَةِ صِفْ يَاذَا بِمُخْتَتَنِ
Katfaahu
qad ‘allataa qauman idzaa jalasuu # ‘Indal wilaadati shif yaa dzaa bimuhtatani.
Dua pundaknya selalu lebih tinggi dari para sahabat.
Sudah tersunat tatkala dilahirkan ke dunia.
Watee
neuduek lam kawan lee, manyang baho dimaulana. Yoh wiladah tan meuligan
kalheueh khatan yoh masa na.
هَذِىِ الْخَصَائِصُ
فَاحْفَظْهَا تَكُنْ آمِنَا
مِنْ شَرِّنَارٍوَسُرَّاقٍ وَمِنْ مِحَنِ
Haadzil
khashaa-isha fahfadzhaa takun aaminan # Min syarri naarin wasurraaqin wamin
mihani.
Inilah 10 kekhususan pada Nabi Saw., maka hafalkanlah.
Agar kita terhindar dari api, pencuri dan bencana.
Nyang
siploh nyoe sifeuet nabi, wajeb turi tuha muda. Soe nyang hafai nyang siploh
totung karam tuhan peulara.
#Menyambut
dan mengisi datangnya bulan kelahiran (Maulid) Nabi Saw. dengan membacakan
shalawat tiada batas, Allahumma shalli wasallim wabarik ‘ala Sayyidina
Muhammadin wa’ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.
l
Muslimedianews ~ Daftar Isi:
1. Kelahiran dan Nasab Mbah Dalhar
2. Ta’lim dan Rihlah Mbah Dalhar
3. Riyadhah dan Amaliah Mbah Dalhar
4. Karamah Mbah Dalhar
5. Karya-karya Mbah Dalhar
6. Murid-murid Mbah Dalhar
7. Kewafatan Mbah Dalhar
1. Kelahiran dan Nasab Mbah Dalhar
Mbah
Kyai Dalhar lahir di komplek Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan,
Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari
1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi.
Ayahnya adalah seorang da’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan
Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.
Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau
Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga
mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang
lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian.
Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi di daerah Godean,
Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko.
Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti
jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran
Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama-sama memerangi penjajah
Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah
Magelang dari penjajahan secara habis-habisan. Karena Magelang bagi pandangan
militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu.
Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure-figure yang dapat
membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul
jihad di masyarakat.
Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu
maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta
menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal
di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun
sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama
Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara di tempat yang sekarang
dikenal dengan Dukuh Santren (masih dalam Desa Gunung Pring). Sementara ketika
masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai
Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser ke arah sebelah barat di tempat
yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara
tersendiri.
2. Ta’lim dan Rihlah Mbah Dalhar
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan
pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya
untuk senantiasa mencintai ilmu agama.
Pada masa kanak-kanaknya, beliau belajar al-Quran dan beberapa dasar ilmu
keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun,
Mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah
Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo,
Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Di sini beliau belajar ilmu tauhid
selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, Mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren
al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya,
Mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin
Muhammad al-Jilani al-Hasani, atau yang dikenal dengan Syaikh Abdul Kahfi
ats-Tsani.
Delapan tahun Mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di
pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar
permintaan ayah beliau sendiri pada Syaikh as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad
al-Jilani al-Hasani.
Sekitar tahun 1314 H/1896 M, Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syaikh
as-Sayyid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani, untuk menemani putera
laki-laki tertuanya yang bernama Sayyid Abdurrahman al-Jilani al-Hasani mencari
ilmi ke Makkah al-Mukarramah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik
yang perlu disuritauladani atas ketaatan dan keta’dziman Mbah Kyai Dalhar pada
gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syaikh as-Sayid Ibrahim bin Muhammad al-Jilani al-Hasani punya keinginan
menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayyid Abdurrahman al-Jilani
al-Hasani kepada kerabat beliau yang berada di Makkah. Kerabat Syaikh Ibrahim
al-Hasani waktu itu selaku Mufti Syafi’iyyah Makkah, yakni Syaikh as-Sayyid
Muhammad Babashol al-Hasani (ayah Syaikh as-Sayid Muhammad Sa’id Babashol
al-Hasani).
Sayyid Abdurrahman al-Hasani bersama Mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah
dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.
Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian
lanjut sampai di Semarang. Saking ta’dzimnya Mbah Kyai Dalhar kepada putera
gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang
dikendarai oleh Sayyid Abdurrahman. Padahal Sayyid Abdurrahman telah
mempersilakan Mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang
diambil oleh sosok Mbah Kyai Dalhar.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), Mbah Kyai Dalhar dan
Sayyid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syaikh
as-Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani, yaitu di daerah Misfalah.
Sayyid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syaikh as-Sayid
Muhammad Babashol al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya
dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan
Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu Mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan
dapat belajar di tanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syaikh as-Sayyyid Muhammad Babashol al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama
“Dalhar” pada Mbah Kyai Dalhar. Hingga akhirnya beliau memakai nama Nahrowi
Dalhar, dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau dan Dalhar adalah nama yang
diberikan untuk beliau oleh Syaikh as-Sayyid Muhammad Babashol al-Hasani.
Rupanya atas kehendak Allah Swt., Mbah Kyai Nahrowi Dalhar di belakang waktu
lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Ketika berada di Hejaz inilah Mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan
Thariqah Syadziliyyah dari Syaikh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul
Khairat dari as-Sayyid Muhammad Amin al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini di
belakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di
Jawa.
3. Riyadhah dan Amaliah Mbah Dalhar
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga
pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat, para sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan Nabiyullah
Khidhir As. Sampai-sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidhir karena
tafaulan (mengharap berkah) dengan Nabiyullah Khidhir As. Sayang putera beliau
yang cukup alim walau masih amat muda ini dikehendaki kembali oleh Allah Swt.
ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, Mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun
di suatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau
melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta
meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga
pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta
para santri-santrinya.
Dalam hal adab selama di tanah suci, Mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air
kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk buang hajat,
beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikr jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, Mbah Kyai Dalhar
juga senang melakukan dzikir sirri. Ketika sudah tenggelam dengan dzikir
sirrinya ini, Mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu
oleh siapapun.
Dalam hal Thariqah Syadziliyyah, menurut KH. Ahmad Abdul Haq, Mbah Kyai Dalhar
menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang; yaitu Kyai Iskandar
Salatiga, KH. Dimyathi Banten dan KH. Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah Mbah
Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi
bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera-putera di Watucongol.
4. Karamah Mbah Dalhar
Sebagai
seorang Waliyullah, Mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara karamah
yang dimiliki oleh beliau ialah, saat memberikan pengajian suaranya dapat
didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara.
Mbah Kyai Dalhar juga mengetahui makam-makam para wali yang sempat dilupakan
oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar, dimana para wali tersebut
pernah bertempat tinggal di tempat tersebut. Dan masih banyak lagi yang
lainnya.
5. Karya-karya Mbah Dalhar
Diantara
karya Mbah Kyai Dalhar yang sudah banyak dikenal dan telah beredar secara umum
adalah kitab Tanwir al-Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang
manaqib Syaikh as-Sayyid Abul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar
asy-Syadzili al-Hasani, imam Thariqah Syadziliyyah.
Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah
karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah
ditashih kepada KH. Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf
susunan Syaikh as-Sayyid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau
pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas.
Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
6. Murid-murid Mbah Dalhar
Banyak
sekali tokoh-tokoh ulama terkenal negeri ini yang sempat berguru kepada beliau
semenjak sekitar tahun 1920-1959 M. Diantaranya adalah KH. Mahrus Aly Lirboyo,
Abuya KH. Dimyathi Banten, KH. Marzuki Giriloyo dan lain sebagainya.
7. Kewafatan Mbah Dalhar
Sesudah
mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu
Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M.
Ada yang meriwayatkan beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23
Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing.
Menurut KH. Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar
Mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
Demikianlah manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham
pada semua pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu.
Adapun nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis
sendiri bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.
Gus
Miek Bertemu KH. Dalhar, Watucongol
Setelah
menunjukkan kemampuannya kepada kedua orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus
MIek melanjudkan studinya di Lirboyo. Di tengah-tengah penddidikannya di
Lirboyo, Gus Miek justru pergi ke Watucongol Magelang, ke pondok pesantren yang
diasuh KH. Dalhar yang terkenal sebagai seorang wali di Jawa Tengah.
KH.
Dalhar adalah seorang di antara tiga wali yang termasyhur di Fawa Tengah.
Ketiga wali itu adalah KH. Hamid, Kajoran, Magelang, sebagai wali dakwah; dan
KH. Dalhar sendiri sebagai wali hakikat. Akan tetapi, sejak KH. Dalhar wafat
pada 1959, menurut sebagian pendapat, posisinya digantikan KH. Mangli,
Muntilan, Magelang.
Awal
kedatangannya di Watucongol pada 1954, Gus Miek tidak langsung mendaftarkan
diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di kolam pondok yang dijadikan
tempat pemandian. Hal itu sering dilakukannya pada setiap datang di Watucongol
kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat para
santri mandi dan mencuci pakean, membuat Gus Miek terlihat seperti orang gila
bagi orang yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan dengan hanya dating
dan memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui KH. Dalhar dan meminta izin
untuk belajar.
“Kiai,
saya ingin ikut belajar kepada kiai,” kata Gus Miek ketika itu.
“Belajar
apa tho, Gus, kok kepada saya,” tanya KH. Dalhar.
“Saya
ingin belajar Al Qur’an dan Kelak ingin saya sebarkan,” jawab Gus Miek dengan
mantap.
KH.
Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al
Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja, ia berulang kali
juga meminta berbagai ijsah amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab,
dan ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada
KH. Dalhar, terutama dalam hal kepasitas KH. Dalhar sebagai seorang wali,
mursyid tarekat, dan pengajar Al Qur’an. Gus Miek juga seolah ingin mempelajari
bagaimana seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai
seorang mursyid, dan seorang pengajar Al Qur’an.
Setiap
kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, KH. Dalhar selalu menyuruh dia membaca Al
Fatehah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, KH. Dalhar selalu menyuruhnya
mengamalkan Al Fatehah.
Barangkali
karena ajaran KH. Dalhar sersebut, Gus Miek banyak memberikan ijasah bacaan Al
Fatehah kepada para pengikutnya untuk segala urusan. Bahkan apabila ingin
berhubungan dengan Gus Miek, cukup dengan membacakan Al Fatehah saja. Dan, bias
jadi inilah yang mengilhami Gus Miek (di samping ijasah yang diberikan oleh
Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin yang disampaikan kepada adiknya)
menerapkan ajaran sejumlah bacaan Al Fatihah dalam kegiatan wirid Lailiyah yang
didirikannya pada tahun 1961, yang kemudian berkembang menjadi Dzikrul Ghofilin
pada 1973..
KH.
Dalhar,bagi Gus Miek, adalah satu-satunya orang yang dianggap sebagai guru
dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selama berada di Watucongol, Gus Miek
dengan telaten selalu membersihkan terompah KH. Dalhar, dan menatanya untuk
lebih mudah dipakai ketika KH. Dalhar naik ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu
dilakukan sebagai upayanya untuk belajar istiqamah. Sebab istiqamah, menurut
ajaran KH. Djazuli, ayahnya, adalah lebih utama dari 1000 karomah. Oleh karena
itu, dalam rangka melatih keistiqamahannya, Gus Miek memulai dengan istiqamah
membersihkan dan menata terompah KH. Dalhar gurunya.
Pernah,
di suatu hari, Gus Miek menemukan trompah KH. Dalhar yang biasanya ada di depan
kamar ada dua buah yang sama persis baik ukuran maupun bentuknya sehingga ia
tidak bias membedakannya. Bungkul (tangkai tempat menjepit antara jari kaki)
terompah KH. Dalhar terbuat dari emas, terompah yang satu juga sama. Akhirnya,
ia membersihkan dan menata keduanya sambil menunggu siapakah tamu gurunya itu.
Sekian lama ia menunggu sampai terkantuk-kantuk, tetapi terompah itu tetap dua
buah jumlahnya. Ketika sesaat ia terlena, terompah itu tinggal satu. Ia
terkejut, kemudian berlari jauh keluar pondok untuk melihat tamu tersebut
sepanjang jalan sehingga nafasnya tersengal-sengal. Tetapi, jalan tampak sepi
dan tidak ada seorang pun terlihat melintas. Padahal, menurut perkiraan Gus
Miek, orang tua yang berjalan memakai terompah itu pasti belum jauh dan
seharusnya sudah terkejar atau justru berada jauh di belakangnya.
Esok
harinya, Gus Miek menemui KH. Dalhar yang baru turun dari masjid memimpin
jama’ah shalat Zuhur, sesampai di kamarnya Gus Miek bertanya: “Maaf, Guru, tamu
Guru tadi malam itu siapa?”
KH.
Dalhar tidak menjawab, sementara Gus Miek tidak mau beranjak sebelum
mendapatkan jawaban. Gus Miek tatap duduk menunggu jawaban dari KH. Dalhar.
Ketika KH. Dalhar beranjak ke masjid untuk mengimami shalat Ashar, ia
mengikutinya untuk menata terompah KH. Dalhar. Dan, ketika KH. Dalhar kembali
ke kamar, Gus Miek pun kembali mengikutinya dan duduk di depan kamar untuk
menunggu jawaban. Demikian juga ketika saat tiba waktu shalat Maghrib dan Isya.
Sehingga, baru ketika sesudah Isya, KH. Dalhar menyuruh pembantunya memberi
tahu bahwa tamunya semalam adalah Nabi Khidir. Setelah mendapatkan jawaban itu,
barulah ia mau beranjak dari tempat duduknya. Menurut keterangan Nyai Dalhar,
dari sekian banyak santri KH. Dalhar, hanya Gus Miek yang berani dan diizinkan
masuk ke kamar KH. Dalhar.
Kegiatan
Gus Miek di Watucongol selain mengaji Al Qur’an, Gus Miek juga tetap sering
bepergian ke pasar-pasr, tempat hiburan, dn mengadu ayam jago. Kebiasaan ini
membuat Gus Miek sering harus berhadapan dengan Gus Mad, putra KH. Dalhar, yang
kebetulan saat itu memegang tanggung jawab sebagai keamanan pondok karena Gus
Miek dianggap sering tidak disiplin. Sedangkan santri yang sering menemani Gus
Miek saat di Watucongol adalah Bakri (KH.Bakri), kini pengasuh Pesantren Al
Qur’an, Jampiroso, Kacangan, Boyolali.
Pernah
Gus Miek menyuruh beberapa gus di Kediri agar buru-buru mondok di tempat KH.
Dalhar karena dia akan meninggal. Semua berbondong ke tempat KH. Dalhar. Saat
itu, Gus Miek menyatakan bahwa KH. Dalhar akan meninggal sekitar 23 Ramadhan
1959, begitu semua datang ke Watucongol, ternyata KH. Dalhar masih sehat.
Tercatat di antara orang-orang yang pergi ke Watucongol adalah KH. Mubasyir
Mundzir dan Gus Fu’ad (adik Gus Miek).
Pernah
KH. Djazuli menugaskan Gus Nurul Huda untuk datang ke Watucongol mewakili KH.
Djzuli untuk menyerahkan adik-adiknya yang mondok ke Watucongol. Di Watucongol,
Gus Huda di samping menyerahkan adik-adiknya kepada KH. Dalhar sebagaimana
amanat KH. Djazuli, juga meminta maaf bila bila adiknya, Gus Miek, banyak
melakukan kekeliruan di Watucongol. Tetapi, jawab KH. Dalhar waktu itu justru
sangat mengejutkan Gus Huda, “Gus Miek itu difatihahi mental,” jawab KH.
Dalhar. Gus Huda hanya tersenyum karena dia sudah paham akan adiknya yang satu
itu.
Dalam
versi yang lain diceritakan bahwa bukan Gus Huda yang menyerahkan Gus Miek,
tetapi kebalikannya. Saat itu, Gus Huda dan Gus Fua’ad disuruh KH. Djazuli agar
mondok ke KH. Dalhar. Saat hendak berangkat, Gus Miek masih duduk di teras
dengan hanya memakai celana pendek.
“Mau
ke mana, Mas Dah?” tanya Gus Miek.
“Aku
disuruh bapak mondok ke Jawa Tengah dengan Fu’ad,” jawab Gus Huda.
Keduanya
kemudian berangkat dengan naik kereta api. Sesampainya di Watucongol, ternyata
Gus Miek sudah berada di teras pondok dengan pakaian masih seperti tadi pagi
ketika di kediri.
“Kenapa
di sini?” tanya Gus Huda yang sudah mengenal kelebihan adiknya.
“Mengantar
kalian kepada Kiai Dalhar,” jawab Gus Miek.
“Aku
tidak mau kalau pakaianmu seperti itu,” jawab Gus Huda sambil memberikan
pakaiannya ke pada Gus Miek untuk berganti pakaian.
Mereka
bertiga kemudian sowan. Setelah sowan, Gus Miek mengantarkan memilih kamar dan
setelah itu hilang entah ke mana dengan meninggalkan pakaian Gus Huda.
Akhirnya,
semua memburu Gus Miek karena dianggap telah berbohong perihal kematian KH.
Dalhar. Tetapi semua menjadi terdiam ketika 25 Ramadhan 1959, KH. Dalhar
benar-benar meninggal dunia.
From
: Dzikrulghofilinboja.blogspot.com
Biografi
Singkat Mbah Dalhar Magelang
Bagi masyarakat awam mungkin masih sangat asing dengan nama “Dalhar.” Namun hal
itu mungkin tidak terjadi pada masyarakat Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah.
Nama KH. Dalhar atau yang akrab disebut mbah Dalhar adalah nama yang tidak
begitu asing bagi masyarakat perbatasan Jawa Tengah dan DIY tersebut. Mbah
Dalhar adalah salah seorang ulama’ Desa Gunung Pring, Muntilan yang sedikit
banyak ikut memperjuangan tegaknya Islam di tanah Jawa.
Mbah Dalhar lahir di komplek Pondok Pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan,
Magelang pada hari Rabu, 12 Januari 1870 atau 10 Syawal 1286 H. Ketika lahir
beliau diberi nama nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang da’i yang bernama
Abdurrahman bin Abdurra’uf bin Hasan Tuqo.
Kiai Abdurra’uf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab
Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III.
Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain
dengan sebutan “Raden Bagus Kemuning.”
Diceritakan bahwa
Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton Yogyakarta karena beliau memang
lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan
juga diketahui bahwa beliau hidup menyepi di daerah Godean, Yogyakarta.
Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama Desa Tetuko. Sementara
itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurra’uf juga mengikuti jejak
sang ayah yaitu senang mempelajari ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro
membutuhkan panglima untuk bersama memerangi penjajah Belanda, Abdurra’uf
tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang
dari VOC. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya sangat
strategis untuk penguasaan wilayah lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran
Diponegoro membutuhkan orang-orang yang dapat membantu perjuangan beliau
melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan semangat jihad di masyarakat.
Melihat kelebihan yang dimiliki serta beratnya perjuangan waktu itu maka
dipilihlah Abdurra’uf untuk diserahi tugas mempertahankan serta menjaga wilayah
Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurra’uf kemudian tinggal di dukuh Tempur,
Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau kemudian mendirikan sebuah
pesantren di sana.
Pesantren Kiai Abdurra’uf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama
Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara di tempat yang sekarang
dikenal dengan Dukuh Santren. Lokasinya masih berada di desa Gunung Pring.
Ketika sudah dewasa, Nahrowi juga ikut meneruskan pesantren ayahnya (Kyai
Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser ke arah sebelah barat di tempat
yang sekarang bernama Watu Congol.
Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam lingkungan pesantren. Oleh
karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa
mencintai ilmu agama. Pada masa kecilnya beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa
dasar ilmu agama kepada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia
13 tahun, mbah Dalhar mulai belajar di pesantren. Ia dititipkan oleh sang ayah
pada Mbah Kyai Mad Ushul-begitu sebutan masyhurnya- di Dukuh Bawang, Desa
Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Di sini beliau belajar ilmu
tauhid selama kurang lebih selama dua tahun.
Sesudah dari Salaman, saat itu berusia 15 tahun, mbah Dalhar dititipkan oleh
ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi, Somalangu, Kebumen. selama delapan tahun
beliau diasuh oleh Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani
atau yang memiliki julukan Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama di pesantren
beliau berkhidmah di ndalem pengasuh.
Sekitar tahun 1896 (tahun 1314H), mbah Dalhar diminta oleh gurunya untuk
menemani putera tertuanya, yaitu Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani belajar
ke Makkah. Putra gurunya itu belajar kepada mufti syafi’iyah, Syeikh As_Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol
Al-Hasani).
Perjalanan ke tanah suci waktu itu menggunakan kapal laut. Beliau berdua
berangkat melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan
dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian sampai di Semarang, saking
ta’dzimnya, mbah Dalhar kepada putera gurunya itu, beliau memilih tetap
berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman.
Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan santri ayahnya itu agar naik
kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Dalhar.
Sesampainya di Makkah, mbah Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath
(asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani
di daerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam perjalanan ini hanya sempat belajar
pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama tiga bulan karena
beliau diminta oleh gurunya dan para ulama setempat untuk memimpin kaum
muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu
mbah Dalhar tetap belajar di Tanah Suci tersebut hingga mencapai waktu 25
tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama
“Dalhar” pada mbah Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar.
Di mana Nahrowi adalah nama asli beliau, dan Dalhar adalah nama yang diberikan
oleh gurunya itu. Dalam perjalanan selanjutnya, nama mbah “dalhar” ini lebih
masyhur daripada nama lengkap beliau, yaitu Nahrowi Dalhar.
Ketika berada di Makkah inilah mbah Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan
Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad
Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Di mana kedua ijazah ini
di kemudian hari menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di
pulau Jawa.
Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga
pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan
nabiyullah Khidir As. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidir
karena begitu dekatnya dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini
yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah SWT
ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di Tanah Suci, mbah Dalhar pernah melakukan khalwat selama tiga tahun di
suatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan
puasa dengan berbuka hanya memakan tiga buah biji kurma saja serta meminum
seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhah-nya, beliau juga pernah
melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para
santri – santrinya. Dalam hal adab selama di tanah suci, mbah Dalhar tidak
pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu
untuk membuatng hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Dalhar juga
senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini,
mbah Dalhar dapat mencapai tiga hari tiga malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut KH Ahmad Abdul Haq,
salah seorang putra Mbah Dalhar, beliau mbah Dalhar menurunkan ijazah
kemursyidan hanya kepada tiga orang, yaitu kiai Iskandar, Salatiga ; KH
Dimyathi, Banten ; dan putranya sendiri, KH Ahmad Abdul Haq.
Meninggalkan tidur malam (Sahrallayal) adalah juga bagian dari riyadhah mbah
Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian
adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Dalhar mempunyai banyak karamah. Dua
keistimewaan yang dimiliki antara lain, suaranya apabila memberikan pengajian
dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras
suara dan mengetahui makam–makam kekasih Allah (auliyaillah) yang sempat
dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar di mana beliau–beliau
tersebut pernah bertempat tinggal.
Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib
Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini
masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang
sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah
menyusun kitab tersebut di Tremas. Di mana pada saat tersebut belum muncul
tashrifan ala Jombang.
Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru
kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920–1959. Di antaranya adalah Gus Miek,
KH. Mahrus (Lirboyo), KH Dimyathi (Banten), KH Marzuki (Giriloyo), dan masih
banyak lainnya.
Gus Miek datang ke Watucongol sekitar tahun 1954. Gus Miek tidak langsung
mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi hanya memancing di kolam pondok yang
dijadikan tempat pemandian. Hal itu sering dilakukannya pada setiap datang di
Watucongol kebiasaannya memancing tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat
para santri mandi dan mencuci pakaian membuat Gus Miek terlihat seperti orang
gila bagi orang yang belum mengenalnya. Setelah beberapa bulan dengan hanya
datang dan memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui mbah Dalhar dan
meminta izin untuk belajar.
Singkat cerita, mbah Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya,
khusus untuk belajar Al Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di
situ saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijazah (verifikasi) amalan
untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah
ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada mbah Dalhar, terutama dalam hal
kapasitasnya sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al Qur’an. Gus
Miek juga seolah ingin mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang wali,
apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid, dan seorang pengajar Al
Qur’an.
Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, mbah Dalhar selalu menyuruhnya
membaca Al Fatihah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, gurunya itu menyuruhnya
untuk mengamalkan Al Fatihah.
Mbah Dalhar, bagi Gus Miek, adalah satu-satunya orang yang dianggap sebagai
guru dunia dan akhirat. Oleh karena itu, selama berada di Watucongol, Gus Miek
dengan telaten selalu membersihkan terompah (sandal) dan menatanya agar lebih
mudah dipakai ketika mbah Dalhar pergi ke masjid. Menurut Gus Miek, hal itu
dilakukan sebagai upayanya untuk belajar istiqamah (konsisten). Sebab
istiqamah, menurut ajaran KH. Djazuli, ayahnya, adalah lebih utama dari 1000
karomah.
Kegiatan Gus Miek di pesantren Watucongol selain mengaji Al Qur’an, juga sering
bepergian ke pasar-pasr, tempat hiburan, dan mengadu ayam jago. Kebiasaan ini
membuat Gus Miek sering berhadapan dengan Gus Mad, putra mbah Dalhar, yang itu
memegang tanggung jawab sebagai keamanan pondok.
Pernah Gus Miek menyuruh beberapa gus di Kediri agar segera belajar di tempat
mbah Dalhar karena beliau akan meninggal. Semua berbondong ke tempat mbah
Dalhar. Saat itu, Gus Miek menyatakan bahwa gurunya itu akan meninggal sekitar
tanggal 23 Ramadhan 1959. Tapi begitu semua datang ke Watucongol, ternyata
mbah. Dalhar masih sehat. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih tiga
tahun, Mbah Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1378 H atau bertepatan
dengan 8 April 1959 M.
*Sumber tulisan ini dari salah seorang keturunan Mbah dalhar yang bernama Fulan
binti Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.
Kiai Haji Nahrowi Dalhar
Kiai
Haji Nahrowi Dalhar atau Mbah Dalhar dikenal sebagai ulama yang mumpuni. Belum
lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai kharismatik ini
adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai salah satu wali
yang
masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid
tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan menjadi teladan
masyarakat.
Kiai Haji Dalhar , Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para
ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk
menimba ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang
disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu
mursyid tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang
mumpuni.
Mbah
Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari
1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan
keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin
Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah
Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.
Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau
Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga
mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Semasa kanak – kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan
pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia
dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di
Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul
, ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian
tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur
15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi
Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini.
Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas
dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani.
Jalan Kaki dan Pemberian Nama Baru
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah
berliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah
suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar
diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani
untuk menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani
Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib
beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani
Keduanya berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya.
Selama perjalanan dari Kebumen da singgah di Muntilan , kemudian lanjut sampai
di Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang
dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada
sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar
naik kuda bersama.
Di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid
Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As
Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman
dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama
Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari
serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat
belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama
“Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi
Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama
yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu
lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan
Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad
Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini
dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga
pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan
nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr
karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang
cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika
usianya belum menginjak dewasa.
Selama
di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu
goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa
dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air
zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan
riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri –
santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah
buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk
qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar
juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya
ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad
Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3
orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis
sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah
juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang,
meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi
para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib
Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini
masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang
sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah
menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul
tashrifan ala Jombang.
Banyak
sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada
beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus,
Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya.
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat
pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan
8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959.
Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing.
(Oleh: Nurul Huda)
KH
Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang
kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan
banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya. Nama lengkapnya
Muhammad
Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat
kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara.
Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana
dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu
dan dakwah.
Menelusuri
kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik.
Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar
Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang
Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar
tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya
Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal
Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari
para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat
hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para
guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga
sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni.
Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan
pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah
Qodiriyyah.
Tidak
salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di
seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup ,
pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim
mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki
seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat
dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti
pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang
kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga
sampai wafatnya.
Lahir
dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan
kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke
pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke
pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya
berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim,
Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar
Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi
Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau
bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut
adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya
berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika
mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu
kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar
kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti
mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya,
hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab.
Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’.
Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada
peningkatan santri mengaji.
Dibanding
dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik.
Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren
yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun
diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena
tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau
khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti
khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu
juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.
Bagi
Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal
Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar
biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu.
Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak
selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar
mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu
mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga
subuh.
Di
sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi,
Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru
semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu
menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya
Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,” Mbah Dim,
dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan
memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah
wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru
membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada
KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah.
Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya
mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Dipenjara Dan Mbah Dalhar
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya.
Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru.
Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini
disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu
tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi
vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada
beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul
Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib ikhfa.
Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr yang
didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr
isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama
isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.
Selanjutnya
kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat
yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat
Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan
para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya
sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya
bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah
Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya
begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar
pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu
itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang
waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada
dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu
diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah
untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang
kitab, kitab apa yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai Dalhar memberi
saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu
sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya
teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.
Namun,
Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyati tak
akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H,
sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah
kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin
Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun
[B]Kiai
Haji Nahrowi Dalhar[/B]
Kiai
Haji Nahrowi Dalhar atau Mbah Dalhar dikenal sebagai ulama yang mumpuni. Belum
lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar
yang juga dikenal sebagai salah satu
wali
yang
masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid tarekat Syadziliyah
dan dikenal sebagai seorang yang wara’
dan menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar , Watucongol, Magelang
dikenal sebagai salah satu guru para
ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu. Mbah Dalhar ,
begitu panggilan akrabnya adalah sosok
yang disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid tarekat
Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan
banyak ulama yang mumpuni.
Mbah
Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M) di Watucongol,
Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir
dalam lingkungan keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan
Tuqo adalah cucu dari Kyai
Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai
Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan
Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga
mempunyai nama lain dengan sebutan Raden
Bagus Kemuning.
Semasa
kanak – kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada
usia 13 tahun baru mondok di pesantren.
Ia dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang,
Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah
bimbingan Mbah Mad Ushul , ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian
tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur 15 tahun. Pesantren ini
dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim
bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama
delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar
di pesantren ini. Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas dasar
permintaan ayahnya kepada Syeikh As
Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
[B]Jalan
Kaki dan Pemberian Nama Baru [/B]
Tidak
hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah berliau berguru kepada beberapa
alim ulama yang masyhur. Perjalalannya
ke tanah suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh
gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin
Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As
Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani
berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani
Keduanya berangkat ke Makkah dengan
menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya. Selama perjalanan dari
Kebumen da singgah di Muntilan ,
kemudian lanjut sampai di Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang
dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal
ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah
mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar
naik kuda bersama.
Di
Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat
para santri tinggal) Syeikh As Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat
belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin
kaum muslimin mempertahankan Makkah dan
Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci
tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga
ahirnya beliau memakai nama Nahrowi
Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh
Syeikh As Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya
dengan nama pemberian sang guru yaitu
Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika
berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari
Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah
aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi
bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat
shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai –
sampai ada putera beliau yang diberi
nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim
walau masih amat muda dikehendaki
kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama
di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit
tempatnya. Dan selama itu pula beliau
melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam
secukupnya. Dari bagian riyadhahnya,
beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para
santri – santrinya. Dalam hal adab
selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika
merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau
lari keluar tanah Haram.
Selain
mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr.
Ketika sudah tagharruq dengan dzikir
sirrnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal
thariqah As-Syadziliyyah ini menurut
kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3
orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ;
KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri
yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar.
Sampai dengan sekarang, meninggalkan
tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
[B]Murid
dan Karya – karyanya[/B]
Karya
mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah
karya tulis berbahasa Arab tentang
manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam
thariqah As-Syadziliyyah. Selain
daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat
diduga sebagai karya beliau setelah
ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid
Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu.
Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat
tersebut belum muncul tashrifan ala
Jombang.
Banyak
sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun
1920 – 1959. Diantaranya adalah KH
Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami sakit
selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai
Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8
April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika
beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh
hari Kamis Pahing. (Oleh: Nurul Huda)
http://jalantrabas.blogspot.com/2008/07/auliya-magelang.html
Sekilas Auliya Magelang
|
1.KH. Dalhar Bin Abdurahman/Mbah DAlhar
KH.dalhar adalah salah saatu ulama yang sangat alim pada zamanya .beliau
bernah berguru pada kyai saleh darat semarang. setelah cukup mendapat didikan
dari sang guru yang sangat di hormati akhirnya kyai dalhar pulang ke ke daerah
asalnya watucongol magelang.beliau adala salah seorang alim pada zamanya
sehingga di juluki trio wali jawa tengah diantaranya kh.muslih mranggen,kh
hamid kajoran dan kh dalhar sendiri.kh dalhar sendiri adalah salah seorang
mursyid tarekat syadziliyah yang sangat terkenal zuhud.dan wara. banyak
diantara murid beliau yang menjadi ulama terkenal diantaranya gus mik,mbah
minan dan kyai jauhari umar. yang menjadi ulama panutan rakyak kecil.pernah
suatu ketika mbah dalhar berkhalwat di gua hira selama 6 tahun tempat nabi
agung kita menerima wahyu. kyai dalhar mendirikan pondok pesantren darussalam
watucongol muntilan magelang jawa tengah pon pes darussalam banyak di minati
santri dari penjuru tanah air. karna jasa beliau yang sangat besar dalam
syiar agama islam di jawa tengah khususnya .marilah kita sebagai umat muslim
selalu mengenang jasa beliau.
2. Mbah Jogoreso
Mbah jogoreso hidup sezaman dengan KH Dalhar watucongol.beliau salah satu
ulama yg sangat alim pada zamanya.mbah jogoreso terkenal sebagai seorang wali
nyentrik. beliau sangat banyak di datangi para kyai pada zamanya tempat
mengadu dan meminta fatwa tak jarang kyai besar pun berdatangan ketempat
beliau.diantaranya gus mik pun pernah meminta barokah ilmunya ketempat
beliau.mbah jogoreso sangat antik sekali bila menemui tamunya kadang
berpakain seadanya kadang tidak memakai baju,bahkan kain sarungnya pun tidak
jarang tersingkap menampakkan auratnya. dan biasanya klo ada seorang pejalan
rohani (salik) .atau orang itu akan menjadi besar tamu itu akan di uji dengan
sesuatu yang tidak menyenangkan oleh mbah jogoreso.tetapi , bila akan
mengalami keburukan atau menjadi durhaka akan di uji dengan segala sesuatu
yang menyenangkan.suatu hari gus mik datang ke tempat beliau/menemui mbah
jogoreso.gus mik di tempeleng dengan sangat keras sehingga pipinya tampak
memerah .gus mik kemudian mundur agak menjauh. tetapi istri mbah jogoreso
menyurh gus mik maju lagi. gus mik pun maju lagi lebih dekat.tetapi kembali
di tempeleng lebih keras lagi sehingga matanya tampak berkaca-kaca menahan
sakit. kejadian itu berturut-turut sampai tiga kali sehingga wajahnya tampak
semakin merah dan akhirnya nyai jogoreso menyuruh gus mik untuk mundur. itu
hanya sekilas dari banyak cerita yang pernah terjadi diantara tamu mbah
jogoreso yang datang ketempat beliau..ketika akan berpamitan pulang mbah
jogoreso memeluk gus mik cukup lama .sebenarnya masih banyak kisah yg tidak
dapat kami ceritakan satu persatu. semoga banyak mengenal para orang yang
dekat dengan allah kita mendapatkan barokahnya dan ilmunya .. amin
3. Mbah Mangli
Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak
demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak
pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga
menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing,
Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari
KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun
1970-an, musala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah
dilakukan oleh KH Hasan Ashari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli
dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak,
Magelang.â€Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli,
kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage,†kata Ahsin (80),
penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara
selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli
untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan
kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli.Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil.
Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama
karismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri
’menjemput’ Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti
Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat
pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi
pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi
jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan.
Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta
pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli
wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa
tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu
mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli.
|
Saya
tidak tahu mengapa professor pembimbing saya ketika kuliah di Nagoya meminati
pesantren-pesantren yang ada di pelosok. Yang lebih tidak habis pikir lagi atau
kadang-kadang malu adalah pengetahuannya yang luas dan daya ingatnya tentang
lokasi pesantren yang pernah dikunjunginya sekalipun itu sudah berlalu 30 tahun
yang lalu, dan sekalipun lokasi pesantren ada jauh terpencil.
Sebelum
berkunjung ke Semarang, beberapa waktu lalu, beliau sudah menyampaikan rencana
“bergerilya” mengunjungi kembali pesantren-pesantren yang 30 tahun lalu pernah
disambanginya. Tujuan utama kunjungan ke Semarang adalah pertemuan dengan
pengusaha Jepang dalam rangka membicarakan scheme beasiswa. Setelah itu
selesai, maka keesokan harinya, kami siap berangkat bergerilya. Saya pribadi memiliki
rencana mengunjungi pesantren-pesantren di Mlangi dan Tegalrejo, karena pernah
membacanya dalam sejarah Diponegoro. Sementara professor ingin berkunjung ke
Watucongol, Muntilan. Jadi, kami menyepakati hari itu ada dua pesantren yang
akan kami kunjungi, yaitu Pesantren di Watucongol dan Tegalrejo.
Sepanjang
perjalanan, saya sudah was-was, jangan-jangan beliau tidak ingat jalan, saat
kami sudah masuk ke jalan-jalan desa. Tetapi dengan sekali bertanya, kami sudah
sampai di lingkungan pesantren yang ternyata sudah sangat terkenal. Saya yang
tidak tahu banyak tentang pesantren-pesantren di Jawa, baru menyadari bahwa
pesantren yang kami kunjungi adalah pesantren besar, dengan para kyai yang
merupakan tokoh-tokoh besar dan sangat terkenal di kalangan ulama di Jawa. Kyai
Dalhar atau yang biasa disebut Mbah Dalhar (alm) yang mendirikan pesantren tsb
adalah tokoh sentral di Magelang. Karena ilmu dan karismanya, banyak sudah
ulama yang belajar kepada beliau.
Sewaktu
kami sampai, pesantren sedang mengadakan pelatihan umroh untuk warga setempat
yang akan berangkat. Oleh karenanya, kami sengaja memarkir mobil di halaman
sebuah rumah kecil di lingkungan pesantren. Ada seorang Ibu yang sedang duduk
di teras rumah, dan setelah saya menceritakan maksud kedatangan kami, beliau
segera mengantarkan kami berkeliling, dan menemui Ibu Nyai Fariqah, istri salah
satu putra Kyai Dalhar (ada tiga putra), yang rumahnya paling dekat dengan
pintu gerbang yang kami masuki tadi.
Ibu
Nyai menyambut dengan sangat ramah, dan gembira mengetahui maksud kunjungan
professor, dan tatkala mendengar cerita professor tentang kunjungannya 30 th
lalu, dan interaksinya dengan santri-santri, pertemuannya dengan Pak Kyai
almarhum, menimbulkan kegembiraan yang teramat sangat di wajah Ibu Nyai. Beliau
kemudian menceritakan beberapa kejadian dan perkembangan baru di pesantren.
Kami juga menyampaikan keinginan untuk melihat-lihat pesantren, mendatangi
makam Kyai Dalhar, dan keluarga pesantren yang lainnya. Dengan sangat ramahnya,
beliau mempersilahkan kami makan siang dulu.
Professor
saya sudah terbiasa dengan kunjungan ke pesantren, maka tentu beliau tidak
kaget lagi dengan tawaran makan siang ini. Saat kami mulai menyendok makanan,
beliau mengatakan inilah yang khas dan hanya ada di Indonesia, hospitality
ala pesantren. Di Jepang, katanya, tidak ada kebiasaan seperti ini.
Sementara di Indonesia, di pesantren-pesantren, sesederhana apapun itu,
selalu tersedia suguhan untuk siapa saja yang berkunjung. Keberkahan
telah dikaruniakan Allah kepada siapa saja yang menolong agamanya.
Saat
menikmati makan siang, kami sempat mengobrol dan terbersit keinginan untuk
meneliti pesantren ini, terutama dari segi sejarah, perubahan pendidikan yang
ada di dalamnya. Oleh karena itu, setting kunjungan kami ganti secara mendadak,
yaitu sekaligus mencari informan yang bisa menceritakan sejarah pesantren.
Kerabat pesantren yang paling tua adalah Bude dari Ibu Nyai, tetapi sayangnya
Dengan
perut yang sudah terisi, kami kemudian dipandu oleh seorang santri mendatangi
setiap sudut pesantren hingga bergerak ke makam Kyai Dalhar yang terletak di
area bukit yang tampaknya kecil dari jauh, tetapi setelah harus menaiki tangga
untuk sampai ke makam di puncak bukit, saya hampir kehabisan nafas, ternyata
tinggi juga. Menurut professor, pendakian ke makam dulu dilakukan dengan
menyisir kaki bukit dari arah kampung. Sekarang ini, sudah sangat nyaman karena
dibangun tangga-tangga dengan keramik, dan dipisahkan antara tangga naik dan
turun. Menurut santri, peziarah berkunjung setiap hari, dan akan meningkat
tajam pada malam Jumat Kliwon.
Pesantren
Darussalam Watucongol sangat khas dengan nilai-nilai budaya Jawa yang dipadukan
dengan nilai Islam sebagaimana yang dibawa oleh wali songo. Oleh karenanya,
sistem penanggalan yang mereka gunakan adalah istilah-istilah penanggalan Jawa.
Beberapa kebiasaan masyarakat tentang ziarah ke makam-makam juga sangat khas.
Selain
tertarik dengan sejarah pesantren, saya sebenarnya juga memiliki minat pada
kurikulum pesantren dan pengembangan life skill para santri. Sebelum berkunjung
ke masjid, kami diantarkan untuk melihat SMK milik pesantren yang bergerak di
bidang otomotif dan pertanian. Lalu, pada saat mengunjungi makam, kami bertemu
dengan pekerja-pekerja yang sedang mengelas, membuat kotak-kotak untuk hiasan dinding
gedung, dna ternyata mereka semua adalah santri. Tampaknya budaya santri yang
hanya menderas Al-Quran dan kitab-kitab saja tidak begitu tampak di sini. Semua
santri disibukkan dengan kegiatan kerjanya masing-masing.
Kami
tidak sempat mewawancarai Nyai Hajjah Nurhanah yang merupakan pimpinan
Pesantren Putri Addalhariyah, sebab ketika kami datang, beliau sedang
beristirahat. Tetapi saya sudah menyatakan keinginan untuk mempelajari lebih
jauh tentang sejarah pesantren ini, terutama yang terkait dengan kependidikannya.
Oleh karena itu, saya sekaligus meminta ijin untuk mengirimkan pertanyaan dalam
bentuk tertulis. Namun, itu belum saya kerjakan juga hingga detik ini, karena
kesibukan yang silih berganti.
Adalah
sebuah pekerjaan besar untuk menelusuri jejak dan benang merah
pesantren-pesantren di Indonesia, sekaligus memperdalam bagaimana transfer
ajaran berlangsung dari pesantren satu ke pesantren yang lain. Namun, bagi
kami, semakin kami mendalaminya, semakin banyak ide penelitian yang muncul.
Sayangnya kami dibatasi waktu dan kesempatan.
Keramahtamahan
pihak pesantren saya kira menjadi pendorong juga banyaknya peneliti asing yang
ingin mempelajari kekhasan dan keunikan perkembangan agama Islam di nusantara.
Makan bahkan tinggal dengan gratis adalah layanan yang kadang-kadang diterima
oleh para peneliti asing. Seperti halnya professor, saya kira banyak peneliti
asing yang terkesima dengan keramahtamahan ala pesantren.
BIOGRAFI SYEIKH KH TB DIMYATHI BIN
SYEIKH MUHAMMAD AMIN
Abuya Dimyathi, begitu panggilan
hormat masyarakat kepadanya, terlahir di tanah Banten, salah
satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang yang pada masa revolusi fisik
kemerdekaan, kabupaten ini dipimpin oleh seorang ulama (KH Abdoel Chalim)
seperti daerah Banten lainnya.
Masa
kecil Abuya dihabiskan di kampung kelahirannya; Kalahang. Awal menuntut ilmu,
Abuya dididik langsung oleh ayahandanya, Syaikh Muhammad Amin bin Dalin.
Lalu melanjutkan berkelana menuntut ilmu agama, sampai-sampai dalam usia sudah
setengah baya. Di sekitar tahun 1967-1968 M, beliau
berangkat mondok lagi bersama putra pertama dan beberapa santri beliau (hal.
168).
Dahaga
akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang
sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya.
Tapi itulah Abuya Dimyathi, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan
mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.
Abuya
berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranyaAbuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul
Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi
Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat
Kaliwungu dan
masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech
Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah
memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru,
tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).
Ketika
mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar
oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol,
Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab
banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di
tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak
mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal
dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena
Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi,
selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap
daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi.
Hal-hal tak masuk akal
Mahasuci Allah yang tidak membuat penanda atas wali-Nya kecuali dengan penanda
atas diri-Nya. Dan Dia tidak mempertemukan dengan mereka kecuali orang yang Dia
kehendaki untuk sampai kepada-Nya. (al Hikam)
Wallahu
a’lam. Ada banyak cerita tak masuk akal dalam buku ini, namun kadar ”gula-gula”
tidaklah terasa sebab penitikberatan segala kisah perjuangan Abuya lebih
diambil dari orang-orang yang menjadi saksi hidupnya (kebanyakan dari mereka
masih hidup) dan dituturkan apa adanya. Abuya memang sudah masyhur wira’i dan
topo dunyo semenjak masih mondok diusia muda. Di waktu mondok, Abuya sudah
terbiasa tirakat, tidak pernah terlihat tidur dan istimewanya adalah menu makan
Abuya yang hanya sekedar. Beliau selalu menghabiskan waktu untuk menimba ilmu,
baik dengan mengaji, mengajar atau mutola’ah. Sampai sudah menetap pun Abuya
masih menjalankan keistiqamahannya itu dan tidak dikurangi bahkan ditambah.
Di
tahun 1999 M, dunia dibuat geger, seorang kiai membacakan kitab tafsir Ibnu
Jarir yang tebalnya 30 jilid. Banyak yang tidak percaya si pengajar dapat
merampungkannya, tapi berkat ketelatenan Abuya pengajian itu dapat khatam tahun
2003 M. Beliau membacakan tafsir Ibnu Jarir itu setelah Khatam 4 kali khatam
membacakan Tafsir Ibnu katsir (4 jilid).
Cerita-cerita
lain tentang karomah Abuya, dituturkan dan membuat kita berdecak kagum.
Subhanallah! Misal seperti; masa perjuangan kemerdekaan dimana Abuya di garis
terdepan menentang penjajahan; kisah kereta api yang tiba-tiba berhenti sewaktu
akan menabak Abuya di Surabaya; kisah angin mamiri diutus membawa surat ke KH
Rukyat. Ada lagi kisah Abuya bisa membaca pikiran orang; kisah nyata beberapa
orang yang melihat dan bahkan berbincang dengan Abuya di Makkah padahal Abuya
telah meninggal dunia. Bahkan kisah dari timur tengah yang mengatakan bahwa
Abuya tiap malam jumat ziarah di makam Syech Abdul Qodir al Jailani dan hal-hal
lain yang tidak masuk akal tapi benar terjadinya dan ada (berikut saksi-saksi
hidupnya).
Buku eksklusif
Keteladanan Abuya dalam menggengam teguh keislaman dengan dorongan ikhlas
mendalam yang membuat Abuya dihormati dan selalu dimintai nasehat dan
petunjuknya.
Beliau
dibesarkan oleh akhlakul karimah dan amalan-amalan wadlifah secara istiqamah
yang selalu ia amalkan.
Yang diminta seorang arif kepada Allah adalah ketulusan dalam menghamba dan
pemenuhan hak-hak ketuhananNya. (al Hikam)
Menurut cerita al Mukarrom KH Dimyathi Ro’is Kaliwungu, ketika Abuya di
kaliwungu, mengungkapkan bahwa ia belum pernah melihat seorang kiai yang
ibadahnya luar biasa dan istimewa seperti Abuya.
Mbah
Dalhar yang bernama lengkap KH. Nahrowi Dalhar, Watucongol dikenal sebagai
ulama yang mumpuni. Belum lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia.
Kiai kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai
salah satu wali Allah yang masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu
panggilan akrabnya adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai
seorang yang wara’ dan menjadi teladan masyarakat.
Kiai
Haji Dalhar, Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para ulama.
Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba
ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani
sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid
tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.
Nasabnya
Mbah
Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari
1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan
keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin
Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai
salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo
sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya
sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan
Raden Bagus Kemuning.
Masa Kanak-Kanak
Semasa
kanak–kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan
pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia
dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di
Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul
, ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian
tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur
15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi
Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini.
Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas
dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani.
Jalan Kaki dan Pemberian Nama
Tidak
hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah beliau
berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci
untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta
oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk
menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau
yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Keduanya
berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung
Mas,Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya. Selama
perjalanan dari Kebumen dan singgah di Muntilan, kemudian lanjut sampai di
Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang
dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada
sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar
naik kuda bersama.
Di
Makkah (waktu itu masih bernama Hijaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman
tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah.
Sayid
Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad
Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para
ulama Hijaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari
serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat
belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar”
pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar.
Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang
diberikan untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu
lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Ketika
berada di Hijaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah
As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat
dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu
menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan
riyadhah.
Sehingga
pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah
Khidhr as. Sampai–sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena
tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim
walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum
menginjak dewasa.
Selama
di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu
goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa
dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air
zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan
riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri –
santrinya.
Dalam
hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil
ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat,
beliau lari keluar tanah Haram.
Selain
mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga
senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya ini,
mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad
Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3
orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis
sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal (meninggalkan tidur malam)
adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang,
meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi
para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya – karyanya
Karya
mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib
Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini
masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang
sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah
menyusun kitab tersebut di Termas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan
ala Jombang.
Banyak
sekali tokoh–tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau
semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus,Lirboyo ; KH
Dimyati Banten ; KH
Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang
lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 –
Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan
jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah
hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. Semoga amal ibadah beliau di
terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh
Allah SWT.